MAKALAH
SEJARAH INDONESIA
Islam dan Jaringan Perdagangan Antarpulau

Disusun oleh Kelompok 1
RANI
ZELIN MONICA
FITER AREJA
DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN
KEBUDAYAAN
SMA NEGERI 2 KEPAHIANG
TAHUN AJARAN
2019/2020
Islam dan
Jaringan Perdagangan Antarpulau-Sejarah

Islam dan Jaringan Perdagangan Antarpulau - Sudah ada perdagangan, sejak
abad pertama Masehi di kepulauan Indonesia berdasarkan data arkeologi berupa
prasasti-prasati serta data historis berupa berita-berita asing. Jalur – jalur
pelayaran maupun perdagangan Kerajaan Sriwijaya dengan beberapa negara di Asia
Tenggara, cina, dan India (Berdasarkan berita cina yang telah dikaji,
diantaranya oleh W.Wolters (1967).
Dari catatan-catatan di sejarah
Indonesia dan Malaya yang telah di himpun dari sumber Cina oleh W.P Groeneveldt,
telah menunjukkan adanya jaringan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di
Kepulauan Indonesia dengan berbagai negeri terutama dengan Cina. Kontak dagang
itu sudah berlangsung sejak abad-abad pertama Masehi hingga abad ke-16.
Kemudian kapal-kapal dagang Arab juga mulai berlayar ke wilayah Asia Tenggara
sejak permulaan abad ke-7. Dan dari literatur Arab juga banyak sumber berita
tentang perjalanan mereka ke Asia Tenggara.
Adanya jalur pelayaran tersebut
menyebabkan muncul jaringan perdagangan dan pertumbuhan yang disertai
perkembangan kota- kota pusat kesultanan dengan kota- kota bandar pada abad
ke-13 hingga abad ke-18 misalnya, Samudera Pasai, Malaka, Banda Aceh,
Palembang, Demak, Siak Indrapura, Jambi, Minangkabau, Cirebon, Banten, Ternate,
Tidore, Goa-Tallo, Kutai, Banjar, dan kota- kota lainnya. Dari sumber literatur
Cina, Cheng Ho mencatat terdapat kerajaan bercorak Islam atau kesultanan,
antara lain, Malaka dan Samudera Pasai yang tumbuh dan berkembang sejak abad
ke- 13 sampai abad ke- 15, sedangkan Ma Huan juga memberitakan ada komunitas-
komunitas Muslim di pesisir utara Jawa Timur. Berita Tome Pires dalam Suma
Oriental (1512-1515) juga memberikan gambaran terkait keberadaan jalur
pelayaran jaringan perdagangan, baik regional ataupun internasional. Ia
menceritakan tentang lalu lintas maupun kehadiran para pedagang di Samudra
Pasai yang berasal dari Bengal, Turki, Persia, Gujarat, Arab, Kling, Malayu,
Jawa, dan Siam. Selain itu Tome Pires juga telah mencatat kehadiran para
pedagang di Malaka dari Kairo, Mekkah, Aden, Abysinia, Kilwa, Malindi, Persia,
Ormuz, Rum, Turki, Kristen Armenia, Gujarat, Chaul, Dabbol, Goa, Keling,
Dekkan, Malabar, Orissa, Ceylon, Bengal, Arakan, Pegu, Siam, Kedah, Malayu,
Pahang, Patani, Kamboja, Campa, Cossin Cina, Cina, Lequeos, Bruei, Lucus,
Tanjung Pura, Lawe, Bangka, Lingga, Maluku, Banda, Bima, Timor, Madura, Jawa,
Sunda, Palembang, Jambi, Tongkal, Indragiri, Kapatra, Minangkabau, Siak, Arqua,
Aru, Tamjano, Pase, Pedir, dan Maladiva.
Berdasarkan kehadiran sejumlah pedagang
dari berbagai negeri dan bangsa di Samudera Pasai, Malaka, dan bandar-bandar di
pesisir utara Jawa dapat disimpulakan adanya jalur- jalur pelayaran dan
jaringan perdagangan antara beberapa kesultanan di Kepulauan Indonesia baik
yang bersifat regional maupun internasional. Hubungan pelayaran yang disertai
perdagangan antara Nusantara dengan Arab meningkat menjadi hubungan langsung
dan dalam intensitas tinggi. Dengan demikian aktivitas perdagangan dan
pelayaran di Samudera Hindia menjadi semakin ramai. Peningkatan pelayaran
tersebut berkaitan erat dengan semakin maju perdagangan di masa jaya
pemerintahan Dinasti Abbasiyah (750-1258). Dengan ditetapkan Baghdad menjadi
pusat pemerintahan yang menggantikan Damaskus (Syam) aktivitas pelayaran dan
perdagangan di Teluk Persia menjadi lebih ramai. Pedagang Arab yang selama ini
hanya berlayar sampai India, dari abad ke-8 mulai masuk ke Kepulauan Indonesia
dalam rangka perjalanan menuju ke Cina. Meskipun hanya transit, tetapi hubungan
Arab dengan kerajaan- kerajaan di Kepulauan Indonesia menjadi langsung.
Hubungan itu menjadi semakin ramai manakala pedagang Arab di larang masuk ke
Cina dan koloni mereka dihancurkan oleh Huang Chou, menyusul suatu
pemberontakan yang terjadi pada 879 H. Orang–orang Islam pun melarikan diri
dari pelabuhan Kanton dan meminta perlindungan dari Raja Kedah dan Palembang.
Ditaklukkannya Malaka oleh Portugis pada 1511, dan usaha Portugis selanjutnya
untuk menguasai lalu lintas di selat tersebut telah mendorong para pedagang
untuk mengambil jalur alternatif yakni dengan melintasi Semenanjung atau pantai
barat Sumatra ke Selat Sunda.
Pergeseran ini melahirkan pelabuhan
perantara yang baru, seperti Aceh, Patani, Pahang, Johor, Banten, Makassar
serta lain sebagainya. Saat itu, pelayaran di Selat Malaka sering diganggu oleh
perompak laut (bajak laut) yang sering terjadi pada jalur perdagangan yang
ramai, akan tetapi kurang mendapat pengawasan oleh penguasa setempat.
Perompakan itu sendiri sesungguhnya merupakan bentuk kuno kegiatan dagang.
Kegiatan itu dilakukan karena merosotnya keadaan politik serta mengganggu
kewenangan pemerintahan yang berdaulat penuh atau kedaulatannya di bawah
penguasa kolonial. Akibat aktivitas bajak laut tersebut, rute pelayaran
perdagangan yang semula melalui Asia Barat ke Jawa lalu berubah melalui pesisir
Sumatra dan Sunda. Dari pelabuhan ini pula para pedagang singgah di Pelabuhan
Barus, Tiku, dan Pariaman. Perdagangan pada wilayah timur Kepulauan Indonesia
lebih pada perdagangan cengkih dan pala. Dari Ternate dan Tidore (Maluku) di
bawa barang komoditi itu menuju Somba Opu, yakni ibukota Kerajaan Gowa di
Sulawesi Selatan. Somba Opu pada abad ke-16 telah menjalin hubungan perdagangan
dengan Patani, Johor, Blambangan, Banjar, dan Maluku. Adapun Hitu (Ambon)
menjadi pelabuhan yang menampung komoditi cengkih dari Huamual (Seram Barat),
sedangkan komoditi pala pusatnya di Banda. Semua pelabuhan itu umumnya
didatangi oleh para pedagang Jawa, Arab, Cina, dan Makassar. Kehadiran pedagang
tersebut mempengaruhi corak kehidupan serta budaya setempat, misalnya ditemui
bekas koloninya seperti Maspait (Majapahit), Kota Jawa (Jawa) dan Kota
Mangkasare (Makassar).
Pada abad ke- 15, Sulawesi Selatan
didatangi pedagang Muslim dari Malaka, Sumatra, dan Jawa,. Dalam perjalanan
sejarah, masyarakat Muslim di Gowa yakni Raja Gowa Muhammad Said (1639-1653)
serta putra penggantinya, Hasanuddin (1653-1669) telah menjalin hubungan dagang
yakni dengan bangsa Portugis. Bahkan Sultan Muhammad Said dan Karaeng
Pattingaloang juga turut memberikan saham dalam perdagangan yang dilakukan Fr.
Vieira, meskipun mereka beragama Katolik. Kerjasama tersebut didorong oleh
adanya usaha monopoli perdagangan rempah- rempah yang dilancarkan oleh kompeni
Belanda di Maluku. Hubungan Ternate, Hitu dengan Jawa sangat erat. Dengan
ditandai adanya seorang raja yang dianggap benar-benar telah memeluk Islam
yaitu Zainal Abidin (1486-1500) yang pernah belajar di Madrasah Giri. Ia
dijuluki sebagai Raja Bulawa yang artinya raja cengkih, karena ia membawa
cengkeh dari Maluku sebagai persembahan. Cengkih, pala, dan bunga pala (fuli)
itu, hanya terdapat di Kepulauan Indonesia bagian timur, sehingga banyak barang
yang sampai ke Eropa harus melewati jalur perdagangan yang amat panjang dari
Maluku sampai ke Laut Tengah. Cengkih yang diperdagangkan yaitu putik bunga
tumbuhan hijau (szygium aromaticum atau caryophullus aromaticus) yang telah
dikeringkan. Satu pohon tersebut ada yang menghasilkan cengkih hingga 34 kg.
Hamparan cengkih di tanam di perbukitan di pulau- pulau kecil Ternate, Tidore, Makian,
maupun Motir di lepas pantai barat Halmahera dan baru berhasil di tanam di
pulau yang relatif besar, yakni Bacan, Ambon dan Seram.
Meningkatnya ekspor lada dalam
perdagangan internasional, membuat pedagang nusantara mengambil alih peranan
India sebagai pemasok utama untuk pasaran Eropa yang telah berkembang dengan
cepat. Selama periode (1500- 1530) banyak sekali terjadi gangguan di laut
sehingga bandar- bandar Laut Tengah harus mencari pasokan hasil bumi dari Asia
ke Lisabon. Oleh karena itu secara berangsur- angsur jalur perdagangan yang
ditempuh pedagang muslim bertambah aktif, di tambah dengan adanya perang di
laut Eropa, penaklukan Ottoman atas Mesir (1517) dan pantai Laut Merah Arabia
(1538) memberikan dukungan yang besar untuk berkembangnya pelayaran Islam di
Samudera Hindia.
Meskipun banyak kota bandar, akan tetapi
yang berfungsi hanya untuk melakukan ekspor dan impor komoditi, pada umumnya
adalah kota- kota bandar besar yang beribu kota pemerintahan di pesisir,
seperti Banten, Jayakarta, Cirebon, Jepara - Demak, Ternate, Goa-Tallo, Tidore,
Banjarmasin, Malaka, Samudera Pasai, Kesultanan Jambi, Palembang dan Jambi.
Kesultanan Mataram berdiri dari abad ke-16 sampai ke-18. Meskipun kedudukannya
sebagai kerajaan pedalaman namun wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar
pulau Jawa yang merupakan hasil ekspansi Sultan Agung. Kesultanan Mataram juga
memiliki kota-kota bandar, seperti Jepara, Tegal, Kendal, Semarang, Tuban,
Gresik, Sedayu, dan Surabaya.
Dalam proses perdagangan terjalin
hubungan antar etnis yang sangat erat. Berbagai etnis dari kerajaan- kerajaan
itu kemudian berkumpul dan membentuk suatu komunitas. Oleh karena itu,
muncullah nama- nama kampung berdasarkan asal daerah. Contohnya,di Jakarta
terdapat perkampungan Keling, Pakojan, dan kampung- kampung lainnya yang
berasal dari daerah- daerah asal yang jauh dari kota- kota yang dikunjungi,
seperti Kampung Melayu, Kampung Ambon, Kampung Bandan, dan Kampung Bali. Pada
masa zaman pertumbuhan dan perkembangan Islam, sistem jual beli barang dilakukan
dengan cara barter. Sistem barter dilakukan antara pedagang- pedagang dari
daerah pesisir dengan daerah pedalaman, bahkan kadang- kadang langsung
kepetani. Transaksi tersebut dilakukan di pasar, baik di kota ataupun desa.
Tradisi jual- beli dengan sistem barter sampai saat ini masih dilakukan oleh
beberapa masyarakat sederhana yang berada jauh di daerah terpencil. Di beberapa
kota pada masa perkembangan Islam dan pertumbuhan telah menggunakan mata uang
sebagai nilai tukar barang. Mata uang yang dipergunakan tidak mengikat pada
mata uang tertentu, kecuali ada ketentuan yang diatur pemerintah daerah
setempat.
Kemunduran perdagangan dan kerajaan yang
berada di daerah tepi pantai disebabkan karena kemenangan militer serta ekonomi
dari Belanda, dan munculnya kerajaan- kerajaan agraris di pedalaman yang tidak
menaruh perhatian terhadap perdagangan.
Terima kasih sudah berkenan membaca artikel tersebut di atas tentang Islam dan Jaringan Perdagangan Antarpulau. Penulis mohon teman-teman kiranya berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun karena penulis rasa artikel tersebut di atas jauh dari kata sempurna. Penulis juga mohon maaf jika terdapat kesalahan baik dari segi tulisan maupun bahasa. Thank you.
ConversionConversion EmoticonEmoticon