PARTISIPASI
MASYARAKAT DALAM UPAYA PENEGAKAN HAM,
Adalah Bisa berupa perorangan,
kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan yang lain. Wujud partisipasi masyarakat
dalam upaya mewujudkan penegakan HAM dapat berwujudkan:
1. Menyampaikan
laporan atas terjadinya pelanggaran HAM kepada Komnas HAM atau lembaga
lain yang
berwenang.
2. Mengajukan
usulan mengenai perumusan dan kebijakan yang berkaitan dengan hak asasi
manusia kepada
Komnas HAM atau lembaga lainnya.
3. Secara
sendiri-sendiri atau bekerja sama dengan Komnas HAM dapat melakukan
penelitian,
pendidikan, dan penyebarluasan informasi mengenai hak asasi manusia.
Sikap positif
sebagai warga negara Indonesia yang baik terhadap upaya penegakan HAM dapat
berupa:
1. Sikap tegas
tidak membenarkan dan tidak menolerir setiap pelanggaran HAM
Alasan bangsa
kita bersikap tegas tidak membenarkan dan tidak mentolerir setiap pelanggaran
HAM, dapat dilihat dari Dukungan terhadap upaya penegakan HAM dapat
berupa:
a. Mendukung
upaya lembaga yang berwenang untuk menindak secara tegas pelaku pelanggaran
HAM. Misalnya: mendukung upaya negara menindak tegas para pelakunya dengan
menggelar peradilan HAM, mendukung upaya menyelesaikan melalui lembaga
peradilan HAM nasional, mendukung peradilan HAM internasional untuk mengambil
alih, apabila peradilan HAM nasional mengalami jalan buntu.
b. Mendukung
dalam setiap upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk memberikan
bantuan kemanusiaan. Bantuan kemanusiaan itu bisa berwujud makanan, pakaian,
obat-obatan dan tenaga medis.
c. Mendukung
upaya terwujudnya jaminan restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi bagi para
korban. Restitusi merupakan ganti rugi yang dibebankan pada para pelaku baik
untuk korban atau keluarganya. Jika restitusi dianggap tidak mencukupi, maka
harus diberikan kompensasi yaitu kewajiban negara untuk memberikan ganti rugi
pada korban atau keluarganya. Di samping restitusi dan kompensasi, korban juga
berhak mendapat rehabilitasi. Rehabilitasi bisa bersifat psikologis, medis, dan
fisik. Rehabilitasi psikologis misalnya berupa pembinaan kesehatan mental untuk
terbebas dari trauma, stres, dan gangguan mental yang lain. Rehabilitasi medis,
yaitu berupa jaminan pelayanan kesehatan. Sedangkan rehabilitasi fisik dapat
berupa pembangunan kembali sarana dan prasarana, seperti perumahan, air minum,
perbaikan jalan, dan lain-lain.
Sikap lain yang
dapat mendukung upaya penegakan HAM
adalah sikap
kritis terhadap penegakan HAM baik yang dilakukan
oleh Komnas HAM,
Peradilan HAM, LSM dan perorangan
dan lembaga
lainnya tersebut di atas. Sikap kritis dapat dalam
bentuk lisan
dan tulisan. Dalam bentuk tulisan dapat dipublikasikan
lewat majalah
sekolah, surat kabar, media elektronik
maupun dikirim
ke lembaga-lembaga penegakan HAM terkait.
PEMBATASAN HAK
ASASI MANUSIA DI INDONESIA
EMBRIO DAN PERKEMBANGAN PEMBATASAN HAM DI INDONESIA*
Hasil amandemen
UUD 1945 memberikan suatu titik terang bahwa Indonesia semakin memperhatikan
dan menjunjung nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM) yang selama ini kurang
memperoleh perhatian dari Pemerintah. Amandemen kedua bahkan telah menelurkan
satu Bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia yaitu pada Bab XA. Apabila kita
telaah menggunakan perbandingan konstitusi dengan negara-negara lain, hal ini
merupakan prestasi tersendiri bagi perjuangan HAM di Indonesia, sebab tidak
banyak negara di dunia yang memasukan bagian khusus dan tersendiri mengenai HAM
dalam konstitusinya.
Namun demikian,
pemasukan pasal-pasal mengenai HAM sebagai suatu jaminan konstitusi
(constitutional guarantee) ternyata masih menyimpan banyak perdebatan di
kalangan akademisi maupun praktisi HAM. Fokus permasalahan terjadi pada dua
pasal yang apabila dibaca secara sederhana mempunyai pengertian yang saling
bertolak belakang, yaitu mengenai ketentuan terhadapnon-derogable rights(Pasal
28I) dan ketentuan mengenai humanrights limitation(Pasal 28J). Benarkah dalam
UUD 1945 itu tersendiri terdapat pembatasan atas ketentuan HAM, termasuk di
dalamnya terhadap Pasal 28I yang di akhir kalimatnya berbunyi”...adalah hak
asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”? Tulisan ringan
ini akan mencoba menjawab pertanyaan tersebut berdasarkan pendapatthe 2nd
founding parentsserta tafsir resmi dari Mahkamah Konstitusi.
Rujukan Dasar
Rujukan yang
melatarbelakangi perumusan Bab XA (Hak Asasi Manusia) UUD 1945 adalah Ketetapan
MPR Nomor XVII/MPR/1998. Hal ini dikemukakan oleh Lukman Hakim Saefuddin dan
Patrialis Akbar, mantan anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR (PAH I BP
MPR) yang bertugas menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945, pada persidangan
resmi di Mahkamah Konstitusi bertanggal 23 Mei 2007. Ketetapan MPR tersebut
kemudian melahirkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Semangat keduanya, baik itu Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 maupun
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah sama yakni menganut pendirian bahwa
hak asasi manusia bukan tanpa batas.
Dikatakan pula
bahwa semangat yang sama juga terdapat dalam pengaturan tentang hak asasi dalam
UUD 1945, yaitu bahwa hak asasi manusia bukanlah sebebas-bebasnya melainkan
dimungkinkan untuk dibatasi sejauh pembatasan itu ditetapkan dengan
undang-undang. Semangat inilah yang melahirkan Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan
sebagaimana tertuang dalam Pasal 28J itu mencakup sejak Pasal 28A sampai dengan
Pasal 28I UUD 1945. Oleh karenanya, hal yang perlu ditekankan di sini bahwa
hak-hak asasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 tidak ada yang bersifat
mutlak, termasuk hak asasi yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945.
Jika kita
menarik dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, bahwa seluruh hak
asasi manusia yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat
dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa hak asasi
manusia dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal
penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam
Bab XA UUD 1945 tersebut. Mengutip pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam
perkara Nomor 2-3/PUU-V/2007, maka secara penafsiran sistematis (sistematische
interpretatie), hak asasi manusia yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan
Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945.
Sistematika
pengaturan mengenai hak asasi manusia dalam UUD 1945 ini sejalan pula dengan
sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga
menempatkan pasal tentang pembatasan hak asasi manusia sebagai pasal penutup,
yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi,“In the exercise of his rights and
freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined
by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the
rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality,
public order and the general welfare in a democratic society.”
Konstitusionalisme
Indonesia
Dalam perkara
yang sama, Mahkamah menilai bahwa apabila kita melihat dari sejarah
perkembangan konstitusionalisme Indonesia, sebagaimana tercermin dalam
konstitusi-konstitusi yang pernah berlaku, yakni UUD 1945 sebelum Perubahan,
Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, dan UUD 1945 sesudah Perubahan, tampak adanya
kecenderungan untuk tidak memutlakkan hak asasi manusia, dalam arti bahwa dalam
hal-hal tertentu, atas perintah konstitusi, hak asasi manusia dapat dibatasi
oleh suatu undang-undang. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
1. UUD 1945
sebelum Perubahan bahkan tidak memuat secara eksplisit dan lengkap pengaturan
tentang hak asasi manusia, termasuk tentang hak untuk hidup, meskipun dalam
Alinea ke-4 memuat apa yang kemudian disebut sebagai Pancasila yang salah
satunya adalah sila“Kemanusiaan yang adil dan beradab”;
2. Pasal 32
ayat (1) Konstitusi RIS 1949 memuat ketentuan tentang pembatasan “Hak-hak dan
Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia”sebagai berikut,“Peraturan-peraturan
undang-undang tentang melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang
diterangkan dalam bagian ini, jika perlu, akan menetapkan batas-batas hak-hak
dan kebebasan itu, akan tetapi hanyalah semata-mata untuk menjamin pengakuan
dan penghormatan yang tak boleh tiada terhadap hak-hak serta
kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil
untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan umum dalam suatu persekutuan
yang demokrasi”;
3. Pasal 33
UUDS 1950 juga membatasi HAM (Hak-hak dan Kebebasan-kebebasan Dasar Manusia)
sebagai berikut,“Melakukan hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang diterangkan
dalam bagian ini hanya dapat dibatasi dengan peraturan-peraturan undang-undang
semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan yang tak boleh tiada
terhadap hak-hak serta kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi
syarat-syarat yang adil untuk ketenteraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam
suatu masyarakat yang demokratis”;
4. UUD 1945 pasca
Perubahan, melalui Pasal 28J nampaknya melanjutkan paham konstitusi
(konstitusionalisme) yang dianut oleh konstitusi Indonesia sebelumnya, yakni
melakukan pembatasan tentang hak asasi manusia sebagaimana telah diuraikan di
atas;
Sejalan dengan
pandangan konstitusionalisme Indonesia tentang HAM sebagaimana telah diuraikan
di atas, ketika kemudian dikeluarkan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UU HAM, kedua
produk hukum ini tampak sebagai kelanjutan sekaligus penegasan bahwa pandangan
konstitusionalisme Indonesia tidaklah berubah karena ternyata keduanya juga
memuat pembatasan terhadap hak asasi manusia. Sebagai contoh yaitu adanya
pembatasan mengenai hak untuk hidup (right to life):
1. Tap MPR
Nomor XVII/MPR/1998 memuat“Pandangan dan Sikap Bangsa Terhadap Hak Asasi
Manusia”yang bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai
luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945. Dalam Pasal
1 Piagam Hak Asasi Manusia dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup yang
berbunyi,“Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan
kehidupannya”,namun dalam Pasal 36-nya juga dimuat pembatasan terhadap hak
asasi manusia termasuk hak untuk hidup sebagai berikut,“Di dalam menjalankan
hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan-pembatasan
yang ditetapkan oleh Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain, dan untuk
memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”;
2. UU HAM dalam
Pasal 9 ayat (1) dimuat ketentuan tentang hak untuk hidup dan dalam Pasal 4
ditentukan bahwa hak untuk hidup termasuk hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun. Namun, Penjelasan Pasal 9
UU HAM menyatakan bahwa hak untuk hidup dapat dibatasi dalam dua hal, yaitu
dalam hal aborsi untuk kepentingan hidup ibunya dan dalam hal pidana mati
berdasarkan putusan pengadilan. Selain itu, Pasal 73 UU HAM juga memuat
ketentuan mengenai pembatasan terhadap hak asasi manusia sebagai berikut,“Hak
dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan
berdasarkan undang-undang, sematamata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan
terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan,
ketertiban umum, dan kepentingan bangsa”.
Selain itu,
putusan Mahkamah yang dapat kita jadikan rujukan mengenai pembatasan terhadap
HAM di Indonesia yaitu Putusan Nomor 065/PUU-II/2004 mengenai pengujian
terhadap diterapkannya ketentuan hukum yang berlaku surut dalam Undang-undang
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang diajukan oleh
Pemohon Abilio Jose Osorio Soares
Sebagaimana
dipahami, dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945, terdapat sejumlah hak yang secara
harfiah dirumuskan sebagai“hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun”,termasuk di dalamnya hak untuk hidup dan hak untuk tidak dituntut
berdasarkan hukum yang berlaku surut. Dalam konteks ini, Mahkamah menafsirkan
bahwa Pasal 28I ayat (1) haruslah dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat
(2), sehingga hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut
tidaklah bersifat mutlak.
Oleh karena
hak-hak yang diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yaitu yang termasuk dalam
rumusan“hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”dapat dibatasi,
maka secaraprima facieberbagai ketentuan hak asasi manusia di luar dari Pasal
tersebut, seperti misalnya kebebasan beragama (Pasal 28E), hak untuk
berkomunikasi (Pasal 28F), ataupun hak atas harta benda (Pasal 28G) sudah pasti
dapat pula dibatasi, dengan catatan sepanjang hal tersebut sesuai dengan
pembatasan-pembatasan yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
Kesimpulan
Adanya tafsir
resmi Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya terkait dengan pembatasan
HAM di Indonesia telah memberikan kejelasan bahwasanya tidak ada satupun Hak
Asasi Manusia di Indonesia yang bersifat mutlak dan tanpa batas. Penulis sangat
memahami apabila banyak pihak yang beranggapan bahwa konstruksi HAM di
Indonesia masih menunjukan sifat konservatif, terutama apabila dibandingkan
dengan negara-negara lain di berbagai belahan dunia lainnya. Lebih lanjut,
apabila kita menggunakan salah satu dari pilihan penafsiran hukum tata negara
yang berjumlah sebanyak dua puluh tiga macam, sebagaimana dijelaskan oleh Prof.
Jimly Asshiddiqie dalam bukunya “Pengantar Hukum Tata Negara”, tentunya semakin
membuahkan hasil penafsiran yang beraneka ragam.
Namun demikian,
Hukum Tata Negara haruslah kita artikan sebagai apa pun yang telah disahkan
sebagai konstitusi atau hukum oleh lembaga yang berwenang, terlepas dari soal
sesuai dengan teori tertentu atau tidak, terlepas dari sama atau tidak sama
dengan yang berlaku di negara lain, dan terlepas dari soal sesuai dengan
keinginan ideal atau tidak. Inilah yang disebut oleh Prof. Mahfud M.D sebagai
“Politik Hukum” dalam buku terbarunya berjudul “Perdebatan Hukum Tata Negara
Pasca Amandemen Konstitusi”. Menurutnya, Hukum Tata Negara Indonesia tidak
harus sama dan tidak pula harus berbeda dengan teori atau dengan yang berlaku
di negara lain. Apa yang ditetapkan secara resmi sebagai hukum tata negara
itulah yang berlaku, apa pun penilaian yang diberikan terhadapnya.
Terlepas dari
semua hal tersebut di atas, satu hal yang perlu kita kita garis bawahi di sini
bahwa Konstitusi haruslah dapat mengikuti perkembangan jaman sehingga acapkali
ia dikatakan sebagaia living constitution. Oleh karena itu, konsepsi pembatasan
terhadap HAM pada saat ini dapat saja berubah di masa yang akan datang.
Sekarang tinggal bagaimana mereka yang menginginkan adanya perubahan konstruksi
pemikiran ke arah tertentu, dapat memanfaatkan jalur-jalur konstitusional yang
telah tersedia, misalnya dengan menempuhconstitutional amandmend, legislative
review, judicial review, constitutional conventions, judicial
jurisprudence,atau pengembangan ilmu hukum sebagaiius comminis opinio doctorum sekalipun.
ConversionConversion EmoticonEmoticon