PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG
MENGATASNAMAKAN KEBENARAN
Setelah Indonesia merdeka,
terdapat berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia dalam berbagai bentuk
baik pelanggaran terhadap individu maupun terhadap kelompok
tertentu.Pelanggaran tersebut identik dengan penghilangan nyawa perorangan
maupun dalam jumlah massal.Dan hingga saat ini masih banyak pelanggaran hak
asasi manusia di Indonesia yang belum terungkap, hal itu menyebabkan munculnya
banyak kritik baik dari masyarakat Indonesia sendiri maupun dari PBB.
Sebagai
dasar negara, hakekat Pancasila diuji saat terjadinya pelanggaran hak asasi
manusia di Indonesia.Unsur-unsur yang terdapat di dalamnya tercabik-cabik oleh
tindakan anarkisme yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.Hal
tersebut merupakan pukulan keras bagi Bangsa Indonesia di hadapan
dunia.Kaitannya dengan Pancasila, pelanggaran hak asasi manusia merupakan
negasi dari norma-norma yang terkandung di dalam Pancasila itu sendiri.
Selain
melanggar hukum, pelanggaran hak asasi manusia juga sangat merugikan banyak
pihak, baik rugi dalam bentuk materi, korban jiwa maupun kerugian dalam bentuk
psikologi dan moral.Sampai saat ini pelanggaran-pelanggaran tersebut belum
dapat diusut secara optimal karena beberapa pelanggaran yang terjadi dilakukan
oleh penguasa dan aparat negeri ini yang seharusnya dapat menciptakan
perdamaian di Indonesia.Hal tersebut sangat disayangkan oleh keluarga korban
pelanggaran hak asasi manusia di negeri ini karena seharusnya pengusutan
pelanggaran hukum tidak boleh pandang bulu.
Untuk
membahas pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia terlebih dahulu kita
mengetahui arti dari hak asasi manusia itu sendiri.Pengertian hak asasi manusia
adalah hak-hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia sebagai anugerah Tuhan
yang dibawa sejak lahir. Sedangkan
menurut UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa HAM
adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
anugerah Tuhan Yang Maha Esa yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatannya,
serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Untuk itu kita harus
menghormati hak-hak orang lain dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dari
penjelasan di atas, pelanggaran dari hak asasi manusia merupakan hal yang
menentang kandungan dari Pancasila.Sebagai contoh pelanggaran hak asasi manusia
yang berkaitan dengan sila pertama adalah pelanggaran hak asasi manusia yang
melibatkan dua agama yang berbeda yang terjadi di Ambon pada tahun 1999 yang
memakan banyak korban jiwa.Pelanggaran tersebut sungguh bertentangan dengan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa karena jika kita jabarkan arti dari sila pertama
kita seharusnya saling menghormati antar umat beragama agar tercipta
perdamaian.Dalam sila pertama dapat kita pahami keberadaan Tuhan dalam setiap
agama dan di Indonesia terdapat berbagai agama, sehingga hal tersebut jangan
sampai menimbulkan perpecahan di antara kita.
Jika
kita lihat dari sila kedua maka pelanggaran hak asasi manusia merupakan
tindakan yang tidak bersifat kemanusiaan dan menentang keadilan di
Indonesia.Dalam pelanggaran HAM sering terjadi tindakan penganiayaan,
pengrusakan dan pembunuhan yang tidak sesuai dengan hakekat dari sila
Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab.Hal itu pula yang menimbulkan banyak tuntutan
untuk menyelesaikan dan mengungkap kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia di
Indonesia.
Pelanggaran
HAM juga bertentangan dengan sila ketiga dalam Pancasila yang menekankan
pentingnya persatuan dari semua anggota masyarakat Indonesia.Kaitannya dengan
sila ketiga, pelanggaran hak asasi manusia merupakan tindakan yang dapat memecah
belah bangsa.Selain itu pelanggaran HAM juga menentang kandungan dari sila
keempat pada Pancasila, karena pelanggaran yang terjadi tidak mengutamakan
musyawarah untuk mencapai mufakat melainkan lebih mengutamakan tindakan fisik.
Tidak
berbeda dengan sila kedua, sila kelima dalam Pancasila yang menegaskan adanya
keadilan dalam menyelesaikan sebuah permasalahan juga menentang adanya
pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.Dan keadilan yang dimaksud dalam
sila kelima merupakan keadilan yang mencakup semua aspek kehidupan masyarakat
berbangsa dan bernegara.
Di
Indonesia sendiri telah terjadi berbagai macam pelanggaran hak asasi manusia,
diantaranya adalah pembantaian massal pada tahun 1965 yang dilakukan terhadap
anggota PKI dan ormas yang dianggap berafiliasi dengannya, kasus di Timor Timur
pra Referendum, kasus Marsinah pada masa Orde Baru, peristiwa Talangsari di
Lampung, kasus penembakan mahasiswa Trisakti pada tahun 1998, penculikan dan
penghilangan terhadap aktivis pro demokrasi pada tahun 1998 dan masih banyak
pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
Begitu
banyaknya pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia dan sebagian besar dari
kasus tersebut tidak dapat diungkap oleh aparat penegak hukum, walaupun
sebagian kasus sudah didesak untuk diselesaikan oleh keluarga korban yang
merasa kehilangan atas korban pelangggaran hak asasi manusia tersebut. Mereka
menuntut agar pelaku pelanggaran tersebut dapat menerima sanksi yang setimpal
atas apa yang telah diperbuat. Namun ada juga kasus yang sudah tersentuh tangan
hukum negeri ini tetapi tidak diselesaikan dengan baik, bahkan pelaku yang
mendapat proses hukum bukanlah otak dari peristiwa pelanggaran HAM yang
terjadi.
Beberapa
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia merupakan perbuatan pemimpin dan
aparat negeri ini dengan alasan untuk menegakkan kebenaran. Seperti yang
pembantaian terhadap anggota PKI dan ormas yang dianggap berafiliasi dengannya
yang dilakukan oleh aparat negara kala itu dengan alasan memberantas paham
komunis di Indonesia. Sebenarnya tindakan tersebut merupakan pelanggaran HAM
berat karena menghabisi nyawa manusia dalam jumlah massal tanpa adanya proses
hukum terlebih dahulu. Hal tersebut dengan jelas menentang Pancasila, karena
dalam Pancasila tidak dibenarkan untuk menghabisi nyawa individu atau
sekelompok orang tanpa adanya proses hukum yang jelas.
Dari
peristiwa yang telah ditulis di atas dapat kita sadari bahwa Pancasila
merupakan landasan negara yang dapat kita gunakan untuk melawan pelanggaran hak
asasi manusia dalam bentuk apapun.Dan ini merupakan jawaban dari rumusan
masalah yang pertama.Kandungan dari setiap sila dari Pancasila dengan tegas
menentang setiap pelanggaran HAM yang dilakukan oleh siapaun termasuk oleh
pemimpin dan aparat negeri ini. Kaitannya dengan hal ini adalah Indonesia harus
tegas menindak aparat atau pemimpin pemerintahan baik yang menjabat di masa
sekarang atau masa lalu yang dengan sengaja melakukan pelanggaran HAM.Hal ini
juga berkaitan dengan doktrin tentang hak-hak asasi manusia yang diterima
secara universal sebagai ‘a moral, political, legal framework and as
aguideline’ dalam membangun dunia yang lebih damai dan bebas dari
ketakutan dan penindasan serta perlakuan yang tidak adil. Rumusan Pancasila
yang menentang adanya pelanggaran HAM juga ada dalam Declaration of Human
Right 1948 yang dilakukan oleh PBB. Deklarasi sedunia tentang hak-hak
asasi manusia tersebut menjelaskan bahwa bangsa-bangsa sedunia melalui
wakil-wakilnya memberikan pengakuan dan perlindungan secara yuridis formal walaupun
realisasinya juga disesuaikandengan kondisi serta peraturan
perundangan yang berlaku dalam setiap negara di dunia ini.Di Indonesia sendiri
landasan yang berkaitan dengan penjelasan di atas adalah Pancasila dan UUD
1945.
Namun
demikian dikukuhkannya naskah Universal Declaration of Human
Right ini, ternyata tidak cukup mampu untuk mencabut akar-akar penindasan
di berbagai negara termasuk di Indonesia.Oleh karena itu PBB secara
terus-menerus berupaya untuk memperjuangkannya.Akhirnya setelah kurang lebih 18
tahun kemudian, PBB berhasil juga melahirkan Convenant on Economic, Social
and Cultral(Perjanjian tentang ekonomi, social dan budaya) dan Convenant
on Civil and Political Rights (Perjanjian tentang hak-hak sipil dan
politik) (Asshiddiqie, 2006: 92).
Melihat
kembali sejarah kelam pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang dilakukan
pemimpin dan aparat pemerintahan pada masa itu dapat kita ketahui bahwa pelaku
dengan jelas mengetahui adanya Pancasila, UUD 1945 dan Declaration of Human
Right namun mereka dengan sengaja memutar balikkan hukum yang ada demi
kepentingan pihak atau golongan yang dianut dengan mengatasnamakan kebenaran
yang harus ditegakkan atas nama hukum negeri ini.
Peranan Pancasila
dalam hal ini sangatlah besar karena kandungannya telah mengatur hak-hak dan
kewajiban warga negara yang telah ditentukan juga dalam UUD 1945 dan tidak
dapat dilanggar.Sebagai contoh dalam masa Orde Baru ada salah satu pelanggaran
HAM yang ironis yaitu pembunuhan berencana terhadap pelopor yang menuntut
dipenuhinya hak-hak buruh di Indonesia, yang sekarang kita kenal dengan kasus
Marsinah. Pelaku utama dari kasus tersebut tidak tersentuh hukum, sementara
orang lain menjadi kambing hitam, dan hal tersebut merupakan bukti represi
militer di bidang pembunuhan yang membenarkan tindakannya dan tidak ambil
pusing terhadap permasalahan rakyat Indonesia.
Ada
juga kasus penculikan dan pembunuhan terhadap aktivis pro demokrasi oleh aparat
negeri ini, hal tersebut dilakukan dengan alasan untuk menjaga kedaulatan dan
kepemimpinan pemerintahan saat itu dengan kata lain aparat negara dengan
sengaja melakukan pelanggaran hak asasi manusia dengan mengatasnamakan
kebenaran menurut pemerintahan yang berkuasa saat itu. Selain melanggar Pancasila, pelanggaran HAM di atas juga melanggar UUD
1945, khususnya Pasal 28 A yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Dalam
realisasi kehidupan, Pancasila memang berperan dalam menekan tindakan
pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia karena unsur-unsur yang terkandung
dalam Pancasila selalu mengajarkan kita tentang bagaimana cara menghormati
hak-hak sesama manusia yang sebenarnya tidak dapat dipisahkan dengan pandangan
filosofis tentang hakekat manusia yang melatarbelakanginya. Menurut pandangan
filsafat bangsa Indonesia yang terkandung dalam Pancasila hakikat manusia
adalah‘monopuralis’.Susunan kodrat manusia adalah jasmani dan rohani, atau jiwa
dan raga, sifat kodrat manusia adalah makhluk individu dan makhluk sosial,
serta kedudukan kodrat manusia adalah sebagai makhluk pribadi berdiri sendiri
dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam
rentangan berdirinya bangsa dan negara Indonesia, secara resmi Deklarasi
Pembukaan dan pasal-pasal UUD telah lebih dahulu merumuskan hak-hak asasi
manusia dari pada Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB.Fakta sejarah
menunjukkan bahwa Pembukaan UUD 1945 beserta pasal-pasalnya disahkan pada
tanggal 18 Agustus 1945, sedangkan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia PBB
pada tahun 1948.Hal ini menunjukkan kepada dunia bahwa sebenarnya bangsa
Indonesia sebelum tercapainya pernyataan hak-hak asasi manusia beserta
convenantnya, telah mengangkat hak-hak asasi manusia dan melindunginya dalam
kehidupan negara, yang tertuang dalam UUD 1945.Hal ini juga telah ditekankan
oleh The Founding Fathers bangsa Indonesia, misalnya pernyataan Moh.
Hatta dalam sidang BPUPKI yang berbunyi “Walaupun yang dibentuk itu negara
kekeluargaan, tetapi masih perlu ditetapkannya beberapa hak dari warga negara,
agar jangan sampai timbul negara kekuasaan atau ‘Machtsstaat’, atau
negara penindas (Yamin, 1959: 207)”.
Deklarasi
bangsa Indonesia pada prinsipnya terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, dan
Pembukaan inilah yang merupakan sumber normative bagi hukum positif Indonesia
terutama penjabarannya dalam pasal-pasal UUD 1945. Dalam Pembukaan UUD 1945
alinea I dinyatakan bahwa : “Kemerdekaan adalah hak segala bangsa”. Dalam
pernyataan ini terkandung pengakuan secara yuridis hak-hak asasi manusia tentang
kemerdekaan sebagaimana terkandung dalam Deklarasi PBB pasal I. Dasar filosofis
hak asasi manusia tersebut adalah bukan kemerdekaan manusia secara individualis
saja, melainkan menempatkan manusia sebagai individu maupun sebagai makhluk
sosial yaitu sebagai suatu bangsa. Oleh karena itu, hak asasi ini tidak dapat
dipisahkan dengan kewajiban asasi manusia.
Pada
dasarnya penanganan pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia sudah sesuai
dengan aturan yang tertera di dalam Pancasila dan UUD 1945, namun belum optimal
dan masih terdapat unsur politik dalam penanganan kasusnya.Hal tersebut
dikarenakan pelaku dari pelanggaran hak asasi manusia itu adalah aparatur
negara dan mereka mendapat perintah dari penguasa pemerintahan saat itu. Hal
ini sungguh mencoret nama baik penegak hukum di negeri ini. Kita sebagai pemuda
yang akan mewarisi negeri ini akan diuji apakah di masa yang akan datang kita
dapat menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan norma yang terkandung dalam
Pancasila dan UUD 1945 atau kita hanya akan menjadi orang yang acuh terhadap
maslah tersebut. Seluruh rakyat Indonesia seharusnya mendukung penegakan hukum
terhadap pelaku pelanggaran HAM di negeri ini.
Contoh kasus pelanggaran HAM
di Indonesia :
1. PELANGGARAN HAM OLEH TNI
Umumnya terjadi pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dimana (dikemudian hari berubah menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan. Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai puncaknya pada akhir masa pemerintahan Orde Baru, dimana perlawanan rakyat semakin keras.
2. KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU
Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5 bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru) sampai saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit diprediksikan, beberapa waktu yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang baru ala ninja/penyusup yang melakukan operasinya di daerah – daerah perbatasan kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat biasa).
Umumnya terjadi pada masa pemerintahan Presiden Suharto, dimana (dikemudian hari berubah menjadi TNI dan Polri) menjadi alat untuk menopang kekuasaan. Pelanggaran HAM oleh TNI mencapai puncaknya pada akhir masa pemerintahan Orde Baru, dimana perlawanan rakyat semakin keras.
2. KASUS PELANGGARAN HAM YANG TERJADI DI MALUKU
Konflik dan kekerasan yang terjadi di Kepulauan Maluku sekarang telah berusia 2 tahun 5 bulan; untuk Maluku Utara 80% relatif aman, Maluku Tenggara 100% aman dan relatif stabil, sementara di kawasan Maluku Tengah (Pulau Ambon, Saparua, Haruku, Seram dan Buru) sampai saat ini masih belum aman dan khusus untuk Kota Ambon sangat sulit diprediksikan, beberapa waktu yang lalu sempat tenang tetapi sekitar 1 bulan yang lalu sampai sekarang telah terjadi aksi kekerasan lagi dengan modus yang baru ala ninja/penyusup yang melakukan operasinya di daerah – daerah perbatasan kawasan Islam dan Kristen (ada indikasi tentara dan masyarakat biasa).
Penyusup
masuk ke wilayah perbatasan dan melakukan pembunuhan serta pembakaran rumah.
Saat ini masyarakat telah membuat sistem pengamanan swadaya untuk wilayah
pemukimannya dengan membuat barikade-barikade dan membuat aturan orang dapat
masuk/keluar dibatasi sampai jam 20.00, suasana kota sampai saat ini masih
tegang, juga masih terdengar suara tembakan atau bom di sekitar kota. Akibat
konflik/kekerasan ini tercatat 8000 orang tewas, sekitar 4000 orang luka –
luka, ribuan rumah, perkantoran dan pasar dibakar, ratusan sekolah hancur serta
terdapat 692.000 jiwa sebagai korban konflik yang sekarang telah menjadi
pengungsi di dalam/luar Maluku.
Masyarakat
kini semakin tidak percaya dengan dengan upaya – upaya penyelesaian konflik
yang dilakukan karena ketidak-seriusan dan tidak konsistennya pemerintah dalam
upaya penyelesaian konflik, ada ketakutan di masyarakat akan diberlakukannya
Daerah Operasi Militer di Ambon dan juga ada pemahaman bahwa umat Islam dan
Kristen akan saling menyerang bila Darurat Sipil dicabut.
Banyak
orang sudah putus asa, bingung dan trauma terhadap situasi dan kondisi yang
terjadi di Ambon ditambah dengan ketidak-jelasan proses penyelesaian konflik
serta ketegangan yang terjadi saat ini. Komunikasi sosial masyarakat tidak
jalan dengan baik, sehingga perasaan saling curiga antar kawasan terus ada dan
selalu bisa dimanfaatkan oleh pihak ketiga yang menginginkan konmflik jalan
terus. Perkembangan situasi dan kondisis yang terakhir tidak ada pihak yang
menjelaskan kepada masyarakat tentang apa yang terjadi sehingga masyrakat
mencari jawaban sendiri dan membuat antisipasi sendiri.
Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen), masyarakat dalam melakukan aktifitasnya selalu dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas ekonomi seperti pasar sekarang dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang muncul mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut tetapi sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka dan tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan diperbatasan antara supir Islam dan Kristen tetapi sejak 1 bulan lalu sekarang tidak lagi juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa ekonomi baru pasca konflik.
Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak – anak korban langsung/tidak langsung dari konflik karena banyak diantara mereka sudah sulit untuk mengakses sekolah, masih dalam keadaan trauma, program Pendidikan Alternatif Maluku sangat tidak membantu proses perbaikan mental anak malah menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban belajar bertambah) selain itu masyarakat membuat penilaian negatif terhadap aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh NGO).
Wilayah pemukiman di Kota Ambon sudah terbagi 2 (Islam dan Kristen), masyarakat dalam melakukan aktifitasnya selalu dilakukan dilakukan dalam kawasannya hal ini terlihat pada aktifitas ekonomi seperti pasar sekarang dikenal dengan sebutan pasar kaget yaitu pasar yang muncul mendadak di suatu daerah yang dulunya bukan pasar hal ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan riil masyarakat; transportasi menggunakan jalur laut tetapi sekarang sering terjadi penembakan yang mengakibatkan korban luka dan tewas; serta jalur – jalur distribusi barang ini biasa dilakukan diperbatasan antara supir Islam dan Kristen tetapi sejak 1 bulan lalu sekarang tidak lagi juga sekarang sudah ada penguasa – penguasa ekonomi baru pasca konflik.
Pendidikan sangat sulit didapat oleh anak – anak korban langsung/tidak langsung dari konflik karena banyak diantara mereka sudah sulit untuk mengakses sekolah, masih dalam keadaan trauma, program Pendidikan Alternatif Maluku sangat tidak membantu proses perbaikan mental anak malah menimbulkan masalah baru di tingkat anak (beban belajar bertambah) selain itu masyarakat membuat penilaian negatif terhadap aktifitas NGO (PAM dilakukan oleh NGO).
Masyarakat
Maluku sangat sulit mengakses pelayanan kesehatan, dokter dan obat – obatan
tidak dapat mencukupi kebutuhan masyarakat dan harus diperoleh dengan harga
yang mahal; puskesmas yang ada banyak yang tidak berfungsi. Belum ada media
informasi yang dianggap independent oleh kedua pihak, yang diberitakan oleh
media cetak masih dominan berita untuk kepentingan kawasannya (sesuai lokasi
media), ada media yang selama ini melakukan banyak provokasi tidak pernah
ditindak oleh Penguasa Darurat Sipil Daerah (radio yang selama ini digunakan
oleh Laskar Jihad (radio SPMM/Suara Pembaruan Muslim Maluku).
3. PELANGGARAN HAM ATAS NAMA AGAMA
Kita memiliki banyak sejarah gelap agamawi, entah itu dari kalangan gereja Protestan maupun gereja Katolik, entah dari aliran lainnya. Bahwa kadang justru dengan simbol agamawi, kita melupakan kasih, yaitu kasih yang menjadi ‘atribut’ Tuhan kita Yesus Kristus. Hal-hal ini dicatat dalam buku sejarah dan beberapa kali kisah-kisah tentang kekejaman gereja difilmkan. Salah satu contohnya dalam film The Scarlet Letter, film tentang hyprocricy Gereja Potestan yang ‘menghakimi’ seorang pezinah dan kelompok-kelompok yang dianggap bidat, adalagi filmThe Magdalene Sisters, juga film A Song for A Raggy Boy, The Headman, “The Name of the Rose” , dan masih banyak lainnya. Kini, telah hadir film yang lumayan baru, yang diproduksi oleh Saul Zaentz dan disutradarai oleh Milos Forman, dua nama ini cukup memberi jaminan bahwa film yang dibuat mereka selalu bagus yaitu film GOYA’s GOST.
Mungkin saja film GOYA’s GOST ini akan membuat ‘marah’ sebagian kelompok, namun apa yang dikemukakan oleh Zaentz dan Forman, sebagaimana kekejaman “Inkuisisi” telah tercatat dalam sejarah hitam Gereja. Kisah-kisah kekejamannya juga terekam dalam lukisan-lukisan karya Seniman Spanyol Francisco Goya (1746–1828 ), yang menjadi tokoh sentral dari film GOYA’s GOST ini.
Kita telah mengenal banyak sekelompok manusia dengan atribut agama, berlindung dalam lembaga agama, mereka justru melakukan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) entah itu Kristen, Islam atau agama apapun. Atas nama ‘agama yang suci’ mereka melakukan ‘pelecehan yang tidak suci’ kepada sesamanya manusia. Akhir abad 20 atau awal abad 21, akhir-akhir ini kita disuguhi sajian-sajian berita akan kebobrokan manusia yang beragama melanggar hak asasi manusia, misalnya kelompok Al-Qaeda dan sejenisnya menteror dengan bom, dan olehnya mungkin sebagian dari kita telah prejudice menempatkan orang-orang Muslim di sekitar kita sama jahatnya dengan kelompok ‘Al-Qaeda’. Di sisi lain Amerika Serikat (AS) sebagai ‘polisi dunia’ sering memakai ‘isu terorisme yang dilakukan Al-Qaeda’ untuk melancarkan macam-macam agendanya. Invasi AS ke Iraq, penyerangan ke Afganistan dan negara-negara lain yang disinyalir ‘ada terorisnya’. Namun kehadiran pasukan AS dan sekutunya di Iraq tidak berdampak baik, mungkin pada awalnya terlihat AS dengan sejatanya yang super-canggih menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan mereka babak-belur dalam ‘perang-kota’, ini mengingatkan kembali sejarah buruk, dimana mereka juga kalah dalam perang gerilya di Vietnam. Kegagalan pasukan AS mendapat kecaman dari dalam negeri, bahkan sekutunya, Inggris misalnya. Tekanan-tekanan ini membuat PM Inggris Tony Blair memilih mengakhiri karirnya sebelum waktunya baru-baru ini. Karena ia berada dalam posisi yang sulit : menuruti tuntutan dalam negeri ataukah menuruti tuan Bush.
3. PELANGGARAN HAM ATAS NAMA AGAMA
Kita memiliki banyak sejarah gelap agamawi, entah itu dari kalangan gereja Protestan maupun gereja Katolik, entah dari aliran lainnya. Bahwa kadang justru dengan simbol agamawi, kita melupakan kasih, yaitu kasih yang menjadi ‘atribut’ Tuhan kita Yesus Kristus. Hal-hal ini dicatat dalam buku sejarah dan beberapa kali kisah-kisah tentang kekejaman gereja difilmkan. Salah satu contohnya dalam film The Scarlet Letter, film tentang hyprocricy Gereja Potestan yang ‘menghakimi’ seorang pezinah dan kelompok-kelompok yang dianggap bidat, adalagi filmThe Magdalene Sisters, juga film A Song for A Raggy Boy, The Headman, “The Name of the Rose” , dan masih banyak lainnya. Kini, telah hadir film yang lumayan baru, yang diproduksi oleh Saul Zaentz dan disutradarai oleh Milos Forman, dua nama ini cukup memberi jaminan bahwa film yang dibuat mereka selalu bagus yaitu film GOYA’s GOST.
Mungkin saja film GOYA’s GOST ini akan membuat ‘marah’ sebagian kelompok, namun apa yang dikemukakan oleh Zaentz dan Forman, sebagaimana kekejaman “Inkuisisi” telah tercatat dalam sejarah hitam Gereja. Kisah-kisah kekejamannya juga terekam dalam lukisan-lukisan karya Seniman Spanyol Francisco Goya (1746–1828 ), yang menjadi tokoh sentral dari film GOYA’s GOST ini.
Kita telah mengenal banyak sekelompok manusia dengan atribut agama, berlindung dalam lembaga agama, mereka justru melakukan kejahatan kemanusiaan (crimes against humanity) entah itu Kristen, Islam atau agama apapun. Atas nama ‘agama yang suci’ mereka melakukan ‘pelecehan yang tidak suci’ kepada sesamanya manusia. Akhir abad 20 atau awal abad 21, akhir-akhir ini kita disuguhi sajian-sajian berita akan kebobrokan manusia yang beragama melanggar hak asasi manusia, misalnya kelompok Al-Qaeda dan sejenisnya menteror dengan bom, dan olehnya mungkin sebagian dari kita telah prejudice menempatkan orang-orang Muslim di sekitar kita sama jahatnya dengan kelompok ‘Al-Qaeda’. Di sisi lain Amerika Serikat (AS) sebagai ‘polisi dunia’ sering memakai ‘isu terorisme yang dilakukan Al-Qaeda’ untuk melancarkan macam-macam agendanya. Invasi AS ke Iraq, penyerangan ke Afganistan dan negara-negara lain yang disinyalir ‘ada terorisnya’. Namun kehadiran pasukan AS dan sekutunya di Iraq tidak berdampak baik, mungkin pada awalnya terlihat AS dengan sejatanya yang super-canggih menguasai Iraq dalam sekejap, namun pasukan mereka babak-belur dalam ‘perang-kota’, ini mengingatkan kembali sejarah buruk, dimana mereka juga kalah dalam perang gerilya di Vietnam. Kegagalan pasukan AS mendapat kecaman dari dalam negeri, bahkan sekutunya, Inggris misalnya. Tekanan-tekanan ini membuat PM Inggris Tony Blair memilih mengakhiri karirnya sebelum waktunya baru-baru ini. Karena ia berada dalam posisi yang sulit : menuruti tuntutan dalam negeri ataukah menuruti tuan Bush.
Memang
kita akui banyak kebrutalan yang dilakukan oleh para teroris kalangan Islam
Fundamentalis, contoh Bom Bali dan sejenisnya di seluruh dunia. Tapi tidak
menutup kemungkinan Presiden Amerika Serikat, George Bush adalah juga seorang
‘Fundamenalis’ dalam ‘Agama’ yang dianutnya, karena gaya Bush yang sering
‘secara implisit’ terbaca dimana ia menempakan dirinya sebagai penganut
Kristiani yang memerangi terorisme dari para teroris Muslim Fundamentalis.
Tentu saja apa-apa yang mengandung “fundamentalis” entah itu Islam/ Kristen/
agama yang lain, bermakna tidak baik.
Sebelumnya,
ditengah-tengah ‘isu anti terorisme (Islam)’, sutradara Inggris, Ridley Scott
memproduksi film The Kingdom of Heaven, barangkali bisa juga digunakan untuk
menyindir Presiden Bush yang sering menggunakan kata“crusades” dalam pidatonya.
Film The Kingdom of Heaven adalah sebuah ‘otokritik’ bagi Kekristenan, dan
sajian ‘ironisme’ dari ajaran Kristus yang penuh kasih. Bahwa perang Salib yang
telah terjadi selama 4 abad itu bukanlah suatu kesaksian yang baik, tetapi
lebih merupakan sejarah hitam.
4. PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM
Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.
4. PELANGGARAN HAM OLEH MANTAN GUBERNUR TIM-TIM
Abilio Jose Osorio Soares, mantan Gubernur Timtim, yang diadili oleh Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) ad hoc di Jakarta atas dakwaan pelanggaran HAM berat di Timtim dan dijatuhi vonis 3 tahun penjara. Sebuah keputusan majelis hakim yang bukan saja meragukan tetapi juga menimbulkan tanda tanya besar apakah vonis hakim tersebut benar-benar berdasarkan rasa keadilan atau hanya sebuah pengadilan untuk mengamankan suatu keputusan politik yang dibuat Pemerintah Indonesia waktu itu dengan mencari kambing hitam atau tumbal politik. Beberapa hal yang dapat disimak dari keputusan pengadilan tersebut adalah sebagai berikut ini.
Pertama, vonis hakim terhadap terdakwa Abilio sangat meragukan karena dalam Undang-Undang (UU) No 26/2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 37 (untuk dakwaan primer) disebutkan bahwa pelaku pelanggaran berat HAM hukuman minimalnya adalah 10 tahun sedangkan menurut pasal 40 (dakwaan subsider) hukuman minimalnya juga 10 tahun, sama dengan tuntutan jaksa. Padahal Majelis Hakim yang diketuai Marni Emmy Mustafa menjatuhkan vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp 5.000 kepada terdakwa Abilio Soares.
Bagi orang yang awam dalam bidang hukum, dapat diartikan bahwa hakim ragu-ragu dalam mengeluarkan keputusannya. Sebab alternatifnya adalah apabila terdakwa terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM berat hukumannya minimal 10 tahun dan apabila terdakwa tidak terbukti bersalah ia dibebaskan dari segala tuduhan.
Kedua, publik dapat merasakan suatu perlakuan “diskriminatif” dengan keputusan terhadap terdakwa Abilio tersebut karena terdakwa lain dalam kasus pelanggaran HAM berat Timtim dari anggota TNI dan Polri divonis bebas oleh hakim. Komentar atas itu justru datang dari Jose Ramos Horta, yang mengungkapkan kekhawatirannya bahwa kemungkinan hanya rakyat Timor Timur yang akan dihukum di Indonesia yang mendukung berbagai aksi kekerasan selama jajak pendapat tahun 1999 dan yang mengakibatkan sekitar 1.000 tewas.
5. Kontroversi G30S
Di antara kasus-kasus pelanggaran berat HAM, perkara seputar peristiwa G30S bagi KKR bakal menjadi kasus kontroversial. Dilema bisa muncul dengan terlibatnya KKR untuk memangani kasus pembersihan para aktivis PKI. Peneliti LIPI Asvi Marwan Adam melihat, kalau pembantaian sebelum 1 Oktober 1965 yang memakan banyak korban dari pihak Islam, karena pelakunya sama-sama sipil, lebih mudah rekonsiliasi. Persoalan muncul ketika KKR mencoba menyesaikan pembantaian yang terjadi pasca G30S. Asvi menjelaskan, begitu Soeharto pada 1 Oktober 1965 berhasil menguasai keadaan, sore harinya keluar pengumuman Peperalda Jaya yang melarang semua surat kabar terbit –kecuali Angkatan Bersenjata (AB) dan Berita Yudha. Dengan begitu, seluruh informasi dikuasai tentara.
Berita yang terbit oleh kedua koran itu kemudian direkayasa untuk mengkambinghitamkan PKI sebagai dalang G30S yang didukung Gerwani sebagai simbol kebejatan moral. Informasi itu kemudian diserap oleh koran-koran lain yang baru boleh terbit 6 Oktober 1965. Percobaan kudeta 1 Oktober, kemudian diikuti pembantaian massal di Indonesia. Banyak sumber yang memberitakan perihal jumlah korban pembantaian pada 1965/1966 itu tidak mudah diketahui secara persis. Dari 39 artikel yang dikumpulkan Robert Cribb (1990:12) jumlah korban berkisar antara 78.000 sampai dua juta jiwa, atau rata-rata 432.590 orang.
Cribb mengatakan, pembantaian itu dilakukan dengan cara sederhana. ”Mereka menggunakan alat pisau atau golok,” urai Cribb. Tidak ada kamar gas seperti Nazi. Orang yang dieksekusi juga tidak dibawa ke tempat jauh sebelum dibantai. Biasanya mereka terbunuh di dekat rumahnya. Ciri lain, menurutnya, ”Kejadian itu biasanya malam.” Proses pembunuhan berlangsung cepat, hanya beberapa bulan. Nazi memerlukan waktu bertahun-tahun dan Khmer Merah melakukannya dalam tempo empat tahun.
Cribb menambahkan, ada empat faktor yang menyulut pembantaian masal itu. Pertama, budaya amuk massa, sebagai unsur penopang kekerasan. Kedua, konflik antara golongan komunis dengan para pemuka agama islam yang sudah berlangsung sejak 1960-an. Ketiga, militer yang diduga berperan dalam menggerakkan massa. Keempat, faktor provokasi media yang menyebabkan masyarakat geram.
Peran media militer, koran AB dan Berita Yudha, juga sangat krusial. Media inilah yang semula menyebarkan berita sadis tentang Gerwani yang menyilet kemaluan para Jenderal. Padahal, menurut Cribb, berdasarkan visum, seperti diungkap Ben Anderson (1987) para jenazah itu hanya mengalami luka tembak dan memar terkena popor senjata atau terbentur dinding tembok sumur. Berita tentang kekejaman Gerwani itu memicu kemarahan massa. Oleh karena itu, Asvi mengingatkan bahwa peristiwa pembunuhan massal pada 1965/66 perlu dipisahkan antara konflik antar masyarakat dengan kejahatan yang dilakukan oleh negara. Pertikaian antar masyarakat, meski memakan banyak korban bisa diselesaikan. Yang lebih parah adalah kejahatan yang dilakukan negara terhadap masyarakat, menyangkut dugaan keterlibatan militer (terutama di Jawa Tengah) dalam berbagai bentuk penyiksaan dan pembunuhan.
Menurut Cribb, dalam banyak kasus, pembunuhan baru dimulai setelah datangnya kesatuan elit militer di tempat kejadian yang memerintahkan tindakan kekerasan. ”Atau militer setidaknya memberi contoh,” ujarnya. Ini perlu diusut. Keterlibatan militer ini, masih kata Cribb, untuk menciptakan kerumitan permasalahan. Semakin banyak tangan yang berlumuran darah dalam penghancuran komunisme, semakin banyak tangan yang akan menentang kebangkitan kembali PKI dan dengan demikian tidak ada yang bisa dituduh sebagai sponsor pembantaian.
Sebuah sarasehan Generasi Muda Indonesia yang diselenggarakan di Univesitas Leuwen Belgia 23 September 2000 dengan tema ”Mawas Diri Peristiwa 1965: Sebuah Tinjauan Ulang Sejarah”, secara tegas menyimpulkan agar dalam memandang peristiwa G30S harus dibedakan antara peristiwa 1 Oktober dan sesudahnya, yaitu berupa pembantaian massal yang dikatakan tiada taranya dalam sejarah modern Indonesia, bahkan mungkin dunia, sampai hari ini. Peristiwa inilah merupakan kenyataan gamblang yang pernah disaksikan banyak orang dan masih menjadi memoar kolektif sebagian mereka yang masih hidup.
Terima kasih sudah berkenan membaca
artikel tersebut di atas tentang PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA YANG MENGATASNAMAKAN KEBENARAN. Penulis mohon teman-teman
kiranya berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun karena penulis rasa
artikel tersebut di atas jauh dari kata sempurna. Penulis juga mohon maaf jika
terdapat kesalahan baik dari segi tulisan maupun bahasa. Thank you.
ConversionConversion EmoticonEmoticon