SEJARAH
KEBUDAYAN ISLAM
DI SULAWESI
DISUSUN OLEH :
DETARI
FIKRI
GIOVANI
YOZAN
SMP N 04
KEPAHIANG
2015/2016
SEJARAH KEBUDAYAN ISLAM DI SULAWESI
A. Latar
Belakang.
Agama islam
pertama masuk ke Indonesia melalui proses perdagangan, pendidikan, dll. Tokoh
penyebar islam adalah walisongo antara lain; Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan
Muria, Sunan Gunung Jati, Sunan Kalijaga, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan
Drajat, Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Sampai
dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara
secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk
Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk
Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum
Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan
berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam,
Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini
berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang
Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan
oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di
Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The
Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk
seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan
jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam
masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan
lil’alamin.
Dengan masuk
Islamnya penduduk pribumi Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan
Islam di berbagai daerah kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari
pusat dunia Islam menjadi semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara
juga semakin banyak. Yang terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut,
Yaman. Dalam Tarikh Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang
terbesar sepanjang sejarah Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani
berdatangan dan dengan rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara,
hubungan dengan pusat dunia Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan
18 Masehi. Penyebabnya, selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh
perlawanan menentang penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan
oleh kaum kolonialis. Setiap kali para penjajah – terutama Belanda –
menundukkan kerajaan Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian
yang isinya melarang kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar
kecuali melalui mereka.
Maka
terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari
bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum
kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat
dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan
pribumi.
B. Perumusan
Masalah
1. Bagaimana
Sejarah masuknya Awal Islam Sulawesi
2. Bagaimana
Kerajaan Islam di Sulawesi
3. Bagaimana
Peninggalan sejarah islam di Sulawesi
4. Bagaimana
Kedatangan Orang Melayu di Tanah Bugis Makassar
C. Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui Sejarah masuknya Awal Islam Sulawesi
2. Untuk
mengetahui Kerajaan Islam di Sulawesi
3. Untuk
Mengetahui Peninggalan sejarah islam di Sulawesi
4. Untuk
mengetahui Bagaimana Kedatangan Orang Melayu di Tanah Bugis
Makassar
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Awal
Islam Sulawesi
Ribuan pulau
yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau.
Baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan
ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi.
Menurut catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun 1540 saat datang
ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa
daerah. Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga
menyentuh raja-raja di Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.
Raja Goa
pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaidin al Awwal dan Perdana Menteri
atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa pada tahun 1603. Sebelumnya, dakwah Islam
telah sampai pula pada ayahanda Sultan Alaidin yang bernama Tonigallo dari
Sultan Ternate yang lebih dulu memeluk Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia
memeluk Islam, ia merasa kerajaannya akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate.
Beberapa
ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaidin begitu terkenal karena pemahaman dan
aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk
Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di
atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau
yang menyebarkan Islam ke Makassar.
Pusat-pusat
dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan perjalanan ke
wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu
dan Paloppo.
B. Kerajaan
Islam di Sulawesi
Pada abad ke
15 di Sulawesi berdiri beberapa kerajaan, diantaranya dari suku bangsa Makasar
(Gowa dan Tallo) dan Bugis (Luwu, Bone, Soppeng dan Wajo). 2 kerajaan yang
memiliki hubungan baik yaitu kerajaan Gowa dan Tallo. Ibu kota kerajaannya
adalah Gowa yang sekarang menjadi Makasar. Kerajaan ini pada abad ke 16 sudah
menjadi daerah islam. Masuk dan berkembangnya Islam di Makasar atas juga datuk
Ribandang (Ulama adat Minangkabau). Secara resmi kerajaan Gowa Islam berdiri
pada tahun 1605 M.
Raja-raja
yang terkenal diantaranya :
1. Sultan
Alaudin (1605-1639 M) raja pertama Islam di Gowa-Tallo. Kerajaan ini adalah
negara maritim yang terkenal dengan perahu-perahu layarnya dengan jenis Pinisi
dan lImbo. Pada masa Sultan Alaudin berkuasa, Islam mengalami perkembangan
pesat yang daerah kekuasaannya hampir mencakup seluruh daerah Sulawesi. Ia
wafat pada tahun 1939 M, setelah menjadi raja selama 34 tahun dan digantikan
putranya yang bernama Muhammad Said.
2. Muhammad
Said (1639-1653 M). Raja ini berkuasa selama 14 tahun.
3. Sultan
hasanuddin (1653-1669 M). Sultan ini sebagai pengganti dari Muhammad Saed. Pada
masa Sultan hasanuddin berkuasa, Gowa – Tallo mencapai puncak kejayaannya.
Wilayah kekuasaannya sampai ke pulau Selayar, Butung, Sumbawa dan Lombok. Ia
berkuasa selama 16 Tahun.
C. Peninggalan sejarah
islam di Sulawesi
1. Batu
Pelantikan Raja (Batu Pallantikang)
Batu petantikan raja (hatu pallantikang) terletak di sebelah
tenggara kompleks makam Tamalate. Dahulu, setiap penguasa baru Gowa-Tallo di
sumpah di atas batu ini (Wolhof dan Abdurrahim, tt : 67). Batu pallantikang
sesungguhnya merupakan batu alami tanpa pem¬bentukan, terdiri dari satu batu
andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu andesit merupakan pusat pemujaan yang
tetap disakralkan masyarakat sampai sekarang. Pe-mujaan penduduk terhadap
ditandai dengan banyaknya sajian di atas batu ini. Mereka meyakini bahwa batu
tersebut adalah batu dewa dari kayangan yang bertuah
2. Mesjid
Katangka
Mesjid
Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa
kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh: [a] Sultan Mahmud
(1818); [b] Kadi Ibrahim (1921); [c] Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948);
dan [d] Andi Baso, Pabbicarabutta GoWa (1962) sangat sulit meng¬identifikasi
bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Yang masih
menarik adalah ukuran tebal tembok kurang lebih 90 cm, hiasan sulur-suluran dan
bentuk mimbar yang terbuat dari kayu menyerupai singgasana dengan sandaran
tangan. Hiasan makhuk di samarkan agar tidak tampak realistik. Pada ruang
tengah terdapat empat tiang soko guru yang mendukung konstruksi bertingkat di
atasnya. Mimbar dipasang permanen dan diplaster. Pada pintu masuk dan mihrab
terdapat tulisan Arab dalam babasa Makassar yang menyebutkan pemugaran yang
dilakukan Karaeng Katangka pada tahun 1300 Hijriah.
3. Makam Syekh
Yusuf
Kompleks
makam ini terletak pada dataran rendah Lakiung di sebelah barat Mésjid
Katangka. Di dalam kompleks ini terdapat 4 buah cungkup dan sejumlah makam
biasa. Makam Syekh Yusuf terdapat di dalam cungkup terbesar, berbentuk bujur
sangkar Pintu masuk terletak di sisi Selatan. Puncak cungkup berhias keramik.
Makam ini merupakan makam kedua. Ketika wafat di pengasingan, Kaap, tanggal 23
Mei 1699, beliau di¬makamkan untuk pertama kalinya di Faure, Afrika Selatan.
Raja Gowa meminta kepada pemerintah Belanda agar jasad Syekh Yusuf dipulangkan
dan dimakamkan di Gowa. Lima tahun sesudah wafat (1704) baru per¬mintaan
tersebut dikabulkan. Jasadnya dibawa pulang bersama keluarga dengan kapal de Spiegel
yang berlayar langsung dan Kaap ke Gowa. Pada tanggal 6 April 1705, tulang
kerangka Syekh Yusuf dimakamkan dengan upacara adat pemakaman bangsawan di
Lakiung. Di atas makamnya dibangun kubah yang disebut kobbanga oleh orang
Makassar.
Makam Syekh
Yusuf mempunyai dua nisan tipe Makassar, terbuat dari batu alam yang
permukaannya sangat mengkilap. Hal ini dapat terjadi karena para peziarah
selalu menyiramnya dengan minyak kelapa atau semacamnya. Sampai sekarang
peziarah masih sangat ramai mengunjungi tokoh ulama (panrita)dan intelektual
(tulnangngasseng) yang banyak berperan dalam perkembangan dan kejayaan kerajaan
Gowa-Tallo abad pertengahan.
Dalam
lontarak "Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa7, Syekh Yusuf dianggap Nabi
Kaidir (Abu Hamid, 1994: 85). la tokoh yang memiliki keistimewaan, seperti
berjalan tanpa berpijak di tanah. Dalam usia belia ia sudah tamat mempelajari
kitab fiqih dan tauhid. Guru tarekat Naqsabandiayah, Syattariyah, Ba'alaniiyah,
dan Qa¬driyah. Wawasan sufistiknya tidak pernah menyinggung pertentangan antara
Hamzah Fanzuri yang me-ngembangkan ajaran Wujudiyah dan Syekh Nuruddin
ar-Raniri.
4. Benteng
Tallo
Benteng
Tallo terletak di muara sungai Tallo. Benteng dibangun dengan menggunakan bahan
batu bata, batu padas/batu pasir, dan batu kurang. Luas benteng diper¬kirakan 2
kilometer Bardasarkan temuan fondasi dan susunan benteng yang masih tersisa,
tebal dinding benteng diperkirakan mencapai 260 cm. Akibat perjanjian Bongaya
(1667) benteng dihancurkan. Sekarang, sisa-sisa benteng dan bekas aktivitas
berserakan. Beberapa bekas fondasi, sudut benteng (bas¬tion) dan batu merah
yang tersisa sering dimanfaatkan penduduk untuk berbagai keperluan darurat,
sehingga tidak tampak lagi bentuk aslinya. Fondasi itu mengelilingi pemukiman
dan makam raja-raja Tallo.
D. Kedatangan Orang Melayu
di Tanah Bugis Makassar
Bardasarkan
sumber-sumber yang telah ditemukan, dapat dikatakan
bahwa gelombang emigran orang-orang Bugis
Makassar ke Semenangjung Melayu melalui tiga priode. , Pertama berlangsung
pada masa sebelum kawasan Sulawesi Selatan
memasuki proses Islamisasi. Mereka itu sudah tersebar di berbagai
tempat semenangjung Sumatra, Malaka dan Kalimantan yang
menghubungkan kawasan-kawasan itu dengan rute perdagangan dengan
Pusat Melaka, Kelompok Bugis pada masa itu belum membentuk dirinya dalam suatu
kekuatan militer, mereka umumnya masih hidup dalam kelompok-kelompok
kecil sebagai pedagang antar pulau dan sebagai nelayan. Itulah
sebabnya mereka pada umumnya tinggal di kawasan pantai mereka dapat
dikatakan kelompok the sea men atau orang laut.
Gelombang kedua terjadi
padamasa proses Islamisasi sedang berlangsung di Sulawesi Selatan.
Masa berlangsung Islamisasi itu berkaitan erat dengan gerakan
politik yang si lancarkan Kerajaan Gowa dan sekutu-sekutunya untuk
menundukkan kwasan-kawasan yang belum masuk Islam dan sampai
Islam diterima masyarakat setempat konflik politik juga masih
berlangsung.
Gelombang ketiga berlangsung
setelah kerajaan Gowa dan Wajo jatuh di tangan VOC . Masa inilah merupakan
periode yang paling banyak terjadi perpindahan orang-orang Bugis
Makassar kesemenagjung Melayu. Perpindahan yang terjadi dalam
gelombang ini berbentuk kelompok yang besar . Mereka tidak saja
terdiri dari masyarakat lapisan bawah tatapi apat dikatakan
terdiri dari smua lapisan sosial
Dari ketiga
gelombang yang disebutkan di atas, gelombang terkhir inilah yang
paling menarik, masalahnya adalah karena faktor
pemindahan berkaitan erat dengan akibat langsung
peperangan yang terjadi di kawasan Sulawesi Selatan. Orang-orang
Bugis Makassar yang termasuk ke dalam gelombang yang
terakhir ini dipimpin langsung oleh kelompok bangsawan. Dengan
sisa-sisa kekuatan militer dan kekayaan yang mereka miliki kelompok
bangsawan ini mengikuti pengikut pengikutnya atau rakyat yang
meninggalkan kampung halamannya untuk merantau dengan
tujuan utamanya untuk melanjutkan perjuangan melawan kekuasaan
Belanda.Perjuangan dalam melawan kekuasaan Belanda itu dilakukan dengan
berbagai cara, antara lain dengan melakukan gangguan pada rute perdagangan
atau pelayaran Belanda di Selat Makassar, pantai Ambon dan di Selat
Malaka pantau Kaliman tan yang starategis dan Kepulauan Riau.
Tindakan mereka dikaitkan dengan “bajak laut”
Sejak
kedatangan orang-orang Melayu di kerajaan Makassar (Kerajaan Gowa) peranannya
tidak hanya dalam perdagangan dan penyebaran agama, tetapi juga dalam kegiatan
sosial budaya. Peranan orang-orang Melayu di Kerajaan Gowa misalnya,
menyebabkan Raja Gowa ke XII, Mangarai Daeng Pamatte Karaeng Tunijallo
membangun sebuah Mesjid di Kampung Mangallekana untuk kepentingan para saudagar
Melayu agar mereka betah tinggal di Makassar, sekalipun ia sendiri belum
beragama Islam. Adanya perkampungan para saudagara Melayu
itu membuat struktur kekuasaan Kerajaan Gowa dibantu juga
oleh orang-orang Melayu dan memegang peranan penting di Istana
Kerajaan Gowa. Hal itu dapat ditemukan dalam untaian kalimat sebagai
berikut:
‘Kamilah
orang-orang Melayu yang mengajar anak negeri duduk berhadaphadapan dalam
pertemuan adat, mengajar menggunakan keris panjang yang disebut tatarapang,
tata cara berpakaian dan berbagai hiasan untuk para anak bangsawan
Dalam
periode tahun .1546-1565 pada masa raja Gowa ke 10, seorang
keturunan Melayu berdarah campuran Bajo yang amat terkemuka bernama I
Mangambari Kare Mangaweang, yang juga dikenal dengan nama I Daeng Ri
Mangallekana diangkat sebagai sahbandar ke II Kerajaan Gowa, sejak saat itu
secara turun temurun jabatan Sahbandar berturut-turut dipegang oleh orang
Melayu sampai dengan Sahbandar Ince Husein, Sahbandar terakhir th 1669 ketika
kerajaan Gowa mengalami kekalahan perang melawan VOC.
Jabatan
penting lainnya ialah juru tulis istana dijabat pula oleh orang-orang Melayu
Incik Amin, juru tulis istana di zaman Sultan Hasanuddin Raja Gowa ke XVI
(1653-1669) adalah juru tulis istana yang terakhir dan amat terkenal di zaman
kebesaran Kerajaan Gowa. Sebuah karya tulisnya yang amat indah berjudul : Syair
Perang Makassar” mengisahkan saat-saat terakhir kerajaan Gowa tahun 1669.
Salah satu
sumbangan utama orang-orang Melayu di Indonesia Timur, khususnya di Sulawesi
ialah upayanya dalam menyebarkan Agama Islam dan penyebaran dan
penyebaran Kebudayaan Melayu di Sulawesi. Pada tahun 1632 Rombongan Migran
Melayu dari Patani tiba di Makassar. Rombongan besar ini dipimpin oleh seorang
bangsawan Melayu dari Patani bernama Datuk Maharajalela Turut serta
dengannya kemanakannya suami istri yang bergelar
Datuk Paduka
Raja bersama istrinya yang bergelar Putri Senapati, Raja Gowa memberinya tempat
di sebelah selatan Somba Opu, Ibu Kota Kerajaan Gowa, karena disana telah
berdiri Perkampungan Melayu asal Patani. Sejak saat itu Salajo diganti menjadi
kampung Patani, hingga sekarang.
DAFTRAR PUSTAKA
Drs. Suwardi. 2006. LKS
Merpati. Karanganyar : Graha Multi Grafika.
Siti Waridah Q, Dra.
2001. Sejarah Nasional dan Umum. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Nico Thamiend R.M.P.B.
Manus. 2000. Sejarah. Jakarta : Yudhistira.
Terima kasih sudah berkenan membaca artikel tersebut di atas tentang SEJARAH KEBUDAYAN ISLAM DI SULAWESI. Penulis mohon teman-teman kiranya berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun karena penulis rasa artikel tersebut di atas jauh dari kata sempurna. Penulis juga mohon maaf jika terdapat kesalahan baik dari segi tulisan maupun bahasa. Thank you.
ConversionConversion EmoticonEmoticon