HUBUNGAN SOSIAL

HUBUNGAN SOSIAL


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Hubungan sosial individu dapat berkembang karena adanya dorongan rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu yang ada dilingkungan sekitarnya. Dalam perkembanganya, setiap individu ingin tahu bagaimana cara melakukan hubungan secara baik dan aman denga dunia sekitarnya, baik yang bersifat fisisk maupun sosial. Hubungan sosial diartikan sebagai “cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang disekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan terhadap dirinya” (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 65). Dalam perkembangan sosial para remaja dapat melakukan perihal dirinya dan orang lain, pemikiran itu terwujud dalam refleksi diri yag sering mengarah pada penilaian diri dan kritik dari hasil pergaulan degan orang lain. Refleksi artinya pencerminan, hasil penilaian terhadap dirinya tidak selalu diketahui orang lain, bahkan sering terlihat usaha seseorang untuk menyembunyikan  atau merahasiakanya.
Ali dan Asrori (Angkotasan,N, 2014: 67) yang merupakan pakar dari hari interaksi, mendefenisikan iteraksi sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain, atau berkomunikasisatu sama lain. Dalam setiap interaksi  senantiasa didalamnya mengimplikasikan adanya komunikasi antara pribadi. Demikia pada sebaliknya, pada setiap komunikasi antara pribadi senantiasa mengandung interaksi. Menurut Ali dan Asrori (Angkotasan,N, 2014: 70), yang dimaksud dengan interaksi remaja dan orang tua adalah hubungan timbal balik secara aktif antara remaja dengan orang tuanya. Yang terwujud dalam kualitas hubungan yang memungkinkan remaja untuk mengebangkan potensi dirinya.
Pada masa remaja mereka dituntut untuk dapat menentukan sikap pilihannya dan kemampuannya dalam menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungannya agar partisipasinya selalu relevan dalam kegiatan masyarakat. Berdasarkan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, kenyataan memperlihatkan bahwa tidak semua remaja berhasil atau mampu melakukan penyesuaian sosial dalam lingkungannya. Menghadapi masalah yang begitu kompleks, banyak remaja tidak dapat mengatasi masalahnya dengan baik, namun tidak jarang ada sebagian remaja yang kesulitan dalam melewati dan mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapinya. Remaja yang gagal mengatasi masalah seringkali menjadi tidak percaya diri, prestasi sekolah menurun, hubungan dengan teman menjadi kurang baik serta berbagai masalah dan konflik lainnya yang terjadi (Sari, dalam Setionigsih,Eko dkk, 2006: 31).

B.     rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan hubungan sosial?
2.      Bagaimana pengaruh hubungan sosial dan tingkah laku?
3.      Bagaimana perkembangan hubungan interaksi sosial dan remaja?
4.      Apa saja jenis-jenis interaksi?
5.      Apa yang dimaksud dengan interaksi remaja dengan orang tua?
6.      Bagaimana persepsi tentang interaksi remaja-orang tua?
7.      Apa saja karakteristik perkembangan sosial remaja?
8.      Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perkembangan hubungan sosial?
9.      Apa yang dimaksud dengan perbedaan individu dalam perkembangan sosial?
10.  Bagaimana upaya perkembangan hubungan sosial remaja dan implikasinya bagi pendidikan?

C.    Tujuan
1.      Memahami pengertian tentang hubungan sosial!
2.      Memahami pengaruh hubungan sosial dan tingkah laku!
3.      Memahami perkembangan hubungan interaksi sosial dan remaja!
4.      Memahami jenis-jenis interaksi!
5.      Memahami interaksi remaja dengan orang tua!
6.      Memahami persepsi tentang interaksi remaja-orang tua!
7.      Memahami karakteristik perkembangan sosial remaja!
8.      Memahami faktor-faktor apa yang mempengaruhi perkembangan hubungan sosial!
9.      Memahami perbedaan individu dalam perkembangan sosial!
10.  Memahami upaya perkembangan hubungan sosial remaja dan implikasinya bagi pendidikan!



BAB II
PERKEMBANGAN HUBUNGAN SOSIAL


A.    Pengertian Hubungan Sosial
Hubungan sosial individu dapat berkembang karena adanya dorongan rasa ingin tahu terhadap segala sesuatu yang ada dilingkungan sekitarnya. Dalam perkembanganya, setiap individu ingin tahu bagaimana cara melakukan hubungan secara baik dan aman denga dunia sekitarnya, baik yang bersifat fisisk maupun sosial. Hubungan sosial diartikan sebagai “cara-cara individu bereaksi terhadap orang-orang disekitarnya dan bagaimana pengaruh hubungan terhadap dirinya” (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 65). Hubungan sosial ini juga menyangkut penyesuaian diri terhadap lingkungan, seperti makan dan minum sendiri, berpakaian sendiri, menaati peraturan, membangun komitmen bersama atau kelompok dalam organisasi, dan sejenisnya (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 65).
Hubungan sosial ini mula-mula dimulai dari lingkungan rumah sendiri kemudian berkembang luas lagi dilingkungan sekolah, dan ditinjau kelingkungan yang lebih luas lagi, yaitu tempat berkumpul dengan teman sebaya. Baru kemudian dengan teman-temannya disekolah mungkin terjadi manakala individu dibesarkan dengan suasana pola asuh yang penuh unjuk kuasa dalam keluarga. Penyebab kesuliatan hubungan sosial sebagai akibat dari pola asuh orang tua yang penuh dengan unjuk kuasa ini adalah timbul dan berkembangnya rasa takut yang berlebihan pada anak sehingga tidak berani mengambil inisiatif, tidak berani mengambil keputusan, dan tidak berani memutuskan pilihan teman yang diangap sesuai (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 65).
Situasi kehidupan dala keluarga berupa pola asuh orang tua, pada umumnya masih dapat diperbaiki oleh orang tua itu sendiri, tetapi situasi pergaulan dengan teman-teman sebayanya cenderung sulit diperbaiki (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 65). Kemungkinan anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang unjuk kuasa akan kesulitan beradaptasi dengan situasi yang diangap menimbulkan konflik pada dirinya. Ada dua kemungkinan konpensasi negatif yang dapat muncul pada anak ketika mengolah komfliknya itu, rasa rendah diri yang akan melekat pada dirinya atau anak berbuat berlebih-lebihan. Dengan demikian, tampak bahwa keluarga merupakan peletak dasar hubungan sosial anak dan yang terpenting adalah pola asuh orang tua terhadap anak  (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 66).

B.     Pengaruh Hubungan Sosial Terhadap Tingkah Laku
Dalam perkembangan sosial para remaja dapat melakukan perihal dirinya dan orang lain, pemikiran itu terwujud dalam refleksi diri yag sering mengarah pada penilaian diri dan kritik dari hasil pergaulan degan orang lain. Refleksi artinya pencerminan, hasil penilaian terhadap dirinya tidak selalu diketahui orang lain, bahkan sering terlihat usaha seseorang untuk menyembunyikan  atau merahasiakanya. Dengan refleksi diri, hubungan dengan situasi lingkungan yang tidak sepenuhnya diterima, karena lingkunga tidak senantiasa sejalan dengan konsep dirinya yang tercermin sebagai suatu kemungkinan bentuk tingkah laku sehari-hari (Sunarto dan Hartono, dalam Angkotasan,N, 2014: 66).
Pikiran remaja sering dipengaruhi ole ide-ide dari teori-teori yang menyebabkan sikap kritis terhadap situasi dan orang lain, termasuk orang tuanya. Setiap pendapat dengan orang lain dibandingkan dengan teori yag diikitu atua diharapkan. Sikap kritis ini juga ditunjukan dalam hal-hal yang sudah umum baginya pada masa sebelumnya, sehingga tata cara, adat istiadat atau atauran-aturan yang berlaku diligkungan keluarga yang sering terasa terjadi atau ada pertentangan dengan sikap remaja  yang tampak pada prilakunya  (Sunarto dan Hartono, dalam Angkotasan,N, 2014: 66).
Kemampuan abstraksi menimbulkan kemampuan mempermasalahkan kenyataan dan peristiwa-pristiwa dengan keadaan  bagaimana semestinya menurut alam pikiranya. Abstraksi artinya cara berpikir dengan mengacu pada instruksi suatu problem dan tidak mengacu pada realita. Tidak situasi yang diakibatkan olehabstraksi ini alhirnya dapatmenimbulkan perasaan tidak puas dan putus asa (Sunarto dan Hartono dalam Angkotasan,N, 2014: 66).
Disamping itu pengaruh egosentris masih serig terlihat pada pikiran remaja (Sunarto dan Hartono, dalam Angkotasan,N, 2014: 66).
1.      Cita-cita dan idealisme yang baik terlalu menitikberatkan pikiran sendiri, tanpa memikirkan akibat lebih jauh dan tanpa memperhitungkan kesulitan praktis yang mungkin menyebabkan tidak berhasilnya menyelesaika persoalan.
2.      Kemampuan berpikir dengan pendapatna sendiri, belum disertai pendapat orang lain dalam penilainya. Masih sulit membedakan pokok perhatian orang lain dari pada tujuan perhatian sendiri. Pandangan dan penilaian diri sendiri diangap sama dengan padangan orang lain mengenai dirinya.
Pencerminan sikap egois sering dapat menyebabkan kekakuari para remaja dalam berpikir maupun tingkah laku. Masalah yang timbul pada remaja adalah bertalian dengan perkembangan fisik yang dirasakan dirinya dalam bergaul, karena disangkanya orang lain sepikiran dan ikut tidak puas mengenai penanpilan dirinya. Hal ini menibulkan perasaan seperti selalu diamati oleh orang lain, perasaan malu, dan membatasi gerak-geriknya. Akibat dari hal itu akan terlihat dari tingkah laku yang canggung   (Sunarto dan Hartono, dalam Angkotasan,N, 2014: 67)
Remaja yang kurang mendapat pemenuhan kebutuhan psikis dari lingkungannya dapat mengakibatkan remaja tumbuh dalam kesepian dan depresi, lebih mudah marah dan susah tidur, lebih gugup dan agresif (Sari, dalam Setionigsih,Eko dkk, 2006: 30). Pada kondisi ini, remaja menjadi rentan untuk terlibat pada kasus-kasus kriminalitas akibat pengaruh kekuatan yang tidak baik dalam lingkungan sosialnya, seperti resiko pemakaian obat terlarang, kekerasan atau kegiatan seksual yang tidak aman (Sari, dalam Setionigsih,Eko dkk, 2006: 30).
 Perilaku remaja yang mengarah pada tindak kejahatan atau perilaku asosial merupakan ketidakmampuan remaja untuk menjalinhubungan baik dengan lingkungan dan menjalankan norma masyarakat. Agar seseorang berperilaku baik tentu saja harus didasari adanya kemampuan untuk menyesuaiakan dirinya dengan keadaan lingkungan tempat ia tinggal, sedangkan bila seseorang gagal dalam mengadakan penyesuaian diri akan dimanifestasi dalam kelainan tingkah laku yang dimunculkan dalam bentuk tingkah laku yang agresif, penganiayaan, penipuan, pemakaian obat terlarang atau narkotika dan sebagainya (Daradjat, dalam Setionigsih,Eko dkk, 2006: 30).

C.    Perkembangan Interaksi Sosial Remaja
Ali dan Asrori (Angkotasan,N, 2014: 67) yang merupakan pakar dari hari interaksi, mendefenisikan iteraksi sebagai peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain, atau berkomunikasisatu sama lain. (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 67) interaksi merupakan hubungan interaksi sosial antara beberapa individu yang bersifat alami yang individu-individu itu saling mempengaruhi satu sama lain secara serentak.
Ali dan Asrori (Angkotasan,N, 2014: 67) mendefenisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika suatu aktifitas dilakukan oleh seorang atau individual lain diberi ganjaran reward atau hukuman punishment dengan mengunakan suatu aktifitas oleh individu lain yang menadi pasangannya. Sedangkan shaw (Ali dan Asrori dalam Angkotasan,N, 2014: 67) mendefenisikan bahwa interaksi adalah suatu pertukaran satu sama lain dalam kehadiran mereka, dan masing-masing prilaku mempengaruhi satu sama lain.

D.    Jenis-Jenis Interaksi
Dalam setiap interaksi  senantiasa didalamnya mengimplikasikan adanya komunikasi antara pribadi. Demikia pada sebaliknya, pada setiap komunikasi antara pribadi senantiasa mengandung interaksi. Sulit untuk memisahkan antara keduanya. Atas dasar itu, (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 68) membedakan interaksi menjadi tiga jenis, yaitu:
1.      Interaksi Verbal, terjadi apabila dua orang atau lebih melakukan kontak satu sama lain dengan mengunakan alat-alat artikulasi. Prosesnya terjadi dalam bentuk saling tukar percakapan satu sama lain.
2.      Interaksi Fisik, terjadi manakala dua orang atau lebih melakukan kontak dengan bahasa-bahasa tubuh. Misalnya, ekspresi wajah, posisi tubuh, gerak-gerik tubuh, dan kontak mata.
3.      Interaksi Emosional, terjadi manakala individu melakukan kontak satu sama lain dengan melakukan curahan perasaan. Misalnya, mengeuarkan air mata sebagai tanda sedih, terharu, atau bahkan terlalu bahagia.
Selain tiga jenis interaksi di atas Ali dan Asrori (Angkotasan,N, 2014: 68) membedakan jenis-jenis interaksi berdasarkan banyaknya individu yang terlibat dalam proses tersebut serta pola interaksi yang terjadi. Atas dasar itu, ada dua jenis interaksi yaitu:
Ø  Interaksi Dyadic terjadi manakal hanya dua orang terlibat didalamnya atau lebih dari dua orang tetapi arah interaksinya hanya terjadi dua arah.
Ø  Interaksi Tryadic ini terjadi apabila individu yang terlibat didalamnya lebih dari dua orang dan pola interaksi menyebar kesemua individu yang terlibat.

E.     Pola Interaksi Remaja Dengan Orang Tua
Sesuai tahap perkembanganya, interaksi remaja dengan orang tua memili kekhasan sendiri. (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,n, 2014: 69) mengemukakan bahwa interaksi antara remaja dan orang tua dapat digambarka sebagai drama tiga tindakan (three-act-drama).
Drama tindakan pertama the first act drama) ,interaksi remaja dengan orang tua berlangsung sebagai yang terjadi pada masa anak-anak dengan orang tua. Mereka memiliki ketergantungan kepada orang tua dan masih sangat dipengaruhi oleh orang tua. Namun, remaja sudah semakinmenyadari keberadaan dirinyasebagai pribadi dari pada masa-masa sebelumnya.
Drama tindakan kedua (the second act drama), disebut dengan istilah “perjuangan untuk amanisipasi” (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 69). Pada masa ini remaja juga memliki perjuangan yang kuat untuk memperjuagkan dirinya dari ketergantungan dengan orang tuanya sebagaimana pada masa anak-anak untuk mencapai status dewasa. Dengan demikian, ketika berinteraksi dengan orang tua, remaja mulai berusaha meninggalkan kemanjaan dirinya dengan orag tua dan semakin bertanggung jawab terhadap diri sendiri. Dengan kata lain mereka berussaha untuk mandiri. Akibatnya, mereka sering kali mengalami pergolakan dan konflik ketika berinteraksi dengan orang tua.
Drama tindakan ketiga (the third act drama), remaja berusaha menempatkan dirinya berteman dengan orang dewasa dan berinteraksi secara lancer dengan mereka. Namun usaha remaja ini seringkali masih memperoleh hambatan yang disebabkan oleh pengaruh dari orang tua yang sebabnya masih belum bisa melepaskan anak remaja secara penuh. Akibatnya, remaja sering kali menentang gagasan-gagasan orang tuaya (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 69).
Dalam kontek interaksi remaja dan orang tua, Ali dan Asrori (Angkotasan,N, 2014: 69) menambahkan adanya aspek objektif dan subjektif dalam berinteraksi antara remaja dan orang tua. Aspek objektif adalah keadaan nyata dari peristiwa yang terjadi pada saat interaksi remaja dan orang tua berlangsung sedangkan aspek subjektif adalah keadaan nyata yang dipersepsika oleh remaja pada saat interaksi berlangsung. (Ali dan asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 70) mengatakan bahwa tidak jarang terjadi remaja cenderung mengunakan aspek subjektif dalam berinteraksi dengan orang tuanya. Misalnya orang tua yang bertindak agak keras terhadap remaja karena khawatir dan cemas terhadap anak remajanya justru persepsi oleh remaja sebagai memarahinya. Padahal sesunguhnya orang tua bermaksud melindunginya. Atas dasar aspek subjektif yang sering digunakan oleh remaja dalam berinteraksi dengan orang tuaya, sebagaimana dikatakan oleh (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 70) maka pemahaman terhadap interaksi remaja  perlu memperhatikan bagaimana persepsi remaja tentang interaksinya dalam orang lain dan bukan semata-mata interaksi nyata.
Interaksi yang terjadi atara individu dalam lingkungan keluarga akan tampil dalam kualitas yang berbeda-beda, kualitas mengacu pada derajat relative kebaikan atau keunggulan suatu hal (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 70), dalam hal ini adalah interaksi antar individu. Suatu interaksi dikatakan berkualiatas jika mampu memberikan kesepatan pada individu untuk mengembangkan diri degan segala kemungkinan yang dimilikinya.
Menurut Ali dan Asrori (Angkotasan,N, 2014: 70), yang dimaksud dengan interaksi remaja dan orang tua adalah hubungan timbal balik secara aktif antara remaja dengan orang tuanya. Yang terwujud dalam kualitas hubungan yang memungkinkan remaja untuk mengebangkan potensi dirinya.

F.     Persepsi Tentang Interaksi Remaja-Orang Tua
Berkaitan erat dengan kualitas interaksi remaja-orang tua Ali dan Asrori (Angkotasan,N, 2014: 70) mengemukakan konsep yang meliputi sejumlah aspek dan masing-masing aspek mengandung sejumlah indicator, yaitu sebagai berikut:
1.      Persepsi remaja mengenai partisipasi dan keterlibatan dirinya dalam keluarga. Aspek ini mengandung indikator-indikator sebagai berikut:
a.       Persepsi remaja mengenai sikap saling menghargai diantara para anggota keluarga
b.      Persepsi remaja mengenai keterlibatan dirinya dalam membicarakan dan memecahkan masalah yang dihadapi keluarga.
2.      Persepsi remaja melalui keterbukaan sikap orang tua. Aspek ini mengandung indicator-indikator sebagai berikut:
a.       Persepsi remaja mengenai toleransi orang tua terhadap perbedaan pendapat
b.      Persepsi remaja mengenai kemampuan orang tua untuk memberikan alas an yang masuk akal terhadap suatu perbuatan atau keputusan yang diambil
c.       Persepsi remaja mengenai keterbukaan orang tua terhadap minat yang luas
d.      Persepsi remaja mengenai upaya orang tua untuk mengembangkan komitmen terhadap tugas
e.       Persepsi remaja mengenai kehadiran orang tua dirumah dan keakraban hubungan antara orang tua dengan remaja.
3.      Persepsi remaja mengenai kebebasan dirinyauntuk melakukan eksplorasi lingkungan. Aspek ini mengandung indicator-indikator sebagai berikut:
a.       Persepsi mengenai dorongan orang tua untuk mengembangkan rasa ingin tahu yang lebih besar
b.      Persepsi remaja mengenai perasaan aman dan bebas yang diberikan oleh orang tua untuk mengadakan eksplorasi dalam mengungkapkan pikiran dan perasaanya
c.       Persepsi remaja bahwa dalam keluarga terdapat aturan yang harus ditaati, tetapi tidak cenderung mengancam.

G.    Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja
Ada sejumlah karakteristik menonjol dari perkembangan sosial remaja, yaitu sebagai berikut:
1.      Perkembangan kesadaran akan kesunyian dan dorongan akan pergaulan
Masa remaja dapat disebut juga masa sosial karena sepanjang remaja hubunga sosial semakin tampak jelas dan semakin dominan. Kesadaran akan kesunyian menyebabkan remaja berusaha mencari kompensasi dengan mencari hubungan dengan orang lain atau berusah mencari pergaulan. Penghayatan kesadaran dan kesunyian yang mendalam dari remaja merupakan dorongan oergaulan untuk menemukan peryataan diri akan kemampuan mandirinya. (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 72) berpendapat bahwa kemiskinan akan hubungan atau perasaan kesunyian remaja disertai kesadaran sosial psikologis yang mendalam yang kemudian menimbulkan dorongan yang kuat akan pentingya pergaulan untuk menemukan suatu bentuk sendiri.
2.      Adanya upaya memilih nilai-nilai sosial
 Ada dua kemungkinan yang ditempuh oleh remaja ketika berhadapan dengan nilai-nilai sosial tertentu, yaitu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai tersebut atau tetap pada pendirian dengan segala akibatnya. Ini berarti bahwa reaksi terhadap keadaan tertentu akan berlangsung menurut norma-norma tertentu pula. Bagi remaja yang idealis dan memiliki kepercayaan penuh akan cita-citanya, menurut norma-norma sosial yang mutlak meskipun segala sesuatu yang telah dicobanya gagal. Sebaliknya, bagi remaja yang bersifat pasif terhadap keadaan yang dihadapi akan cenderung menyerah atau bahkan apatis.
3.      Meningkatkan ketertarikan kepada lawan jenis
Remaja sangat sadar akan dirinya bagaimana akan pandangan lawan jenis mengenai dirinya. Dalam konteks ini, (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 72) bahkan menegaskan bahwa, the sosial interest of adolescentare assentially sex sosial interst. Oleh sebab itu, masa remaja sering kali disebut juga sebagai masa biseksual. Meskipun kesadara lawan jenis ini berhubungan dengan perkembangan jasmani, tetapi sesungguhnya yang berkembag secara dominan bukanlah kesadaran jasmani yag berlainan, melainkan ketertarika tubuhnya terhadap jenis kelamin yang lain.
4.      Mulai cenderung memilih karier tertentu
Karakteristik berikutnya sebagaimana dikatakan oleh (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 73) ketika memasuki remaja akhir mulai tampak kecenderungan mereka untuk memilih karier tertentu meskipun dalam pemilihan karier tersebut masih mengalami kesulitan. Ini wajar karena pada orang dewasapun kerap kali masih terjadi perubahan orientasi karier dan kembali berusaha menyesuaikan diri denga karier barunya.

H.    Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perkembangan Hubungan Sosial
perkembangan sosial manusia dipengaruhi oleh  beberapa faktor yaitu:
a.       Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan utama yang memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek perkembangan anak, termasuk perkembangan sosialnya. Kondisi dan tatacara dalam kehidupan keluarga merupakan lingkungan yang kondusif bagi sosialisa anak.menurut Sulistya,Dewi (Angkotasan,N,2014: 73) mengatakan bahwa karakteristik keluarga dapat diidentifikasi dengan beberapa hal sebagai berikut:
1.      Terdiri dari orang-orang bersatu karena ikatan perkawinan, darah, atau adopsi.
2.      Para anggota keluarga biasanya hidup bersama-sama dalam satu rumah dan mereka membentuk dalam satu ruamah tangga.
3.      Keluarga merupakan satu kesatuan yang saling berinteraksi dan komunikasi yang mempermainkan peranan suami istri, ayah dan ibu, anak laki-laki dan anak perempuan, peranan saudara dan peranan saudari, peran-peran tersebut berkaitan erat dengan tradisi masyarakat setempat.
4.      Keluarga ini mempertahankan suatu kebudayaan bersama yang sebagian besar berasal dari kebudayaan umum. Akan tetapi, pada masyarakat terdapat banyak kebudayaan, setiap keluarga mengembangkan kebudayaan sendiri.
b.   Sekolah
Kehadiran disekolah merupakan perluasan lingkungan sosialnya dalam proses sosialisanya dan sekaligus merupakan faktor lingkungan baru yang sehat menantang atau bahkan mencemaskan dirinya. Para guru dan teman-teman sekelas membentuk suatu sistem yang kemudian menjadi semacam lingkungan normal bagi dirinya. Selama tidak ada pertentangan, selama itu pula anak tidak akan mengalami kesulitan dalam menyesuaikan dirinya. Namun, jika salah satu kelompok lebih kuat dari lainya. Anak akan menyesuaikan dirinyadengan kelompok dimana dirinya dapat diterima dengan baik.
Adapun empat tahap proses penyesuaian diri yang harus dilalui oleh anak selama menbangun hubungan sosialnya yaitu sebagai berikut:
1.      Anak dituntut agar tidak merugikan orang lain serta menghargai dan menghormati hak orang lain.
2.      Anak dididik untuk menati-menaati peraturan-peraturan dan menyesuaikan diri dengan norma-norma kelompok.
3.      Anak dituntut untuk melakukan lebih dewasa didalam interaksi sosial berdasarkan asas saling member dan menerima.
4.      Anak dituntut untuk memahami orang lain.
c.       Masyarakat
Sebagaimana dalam lingkungan keluarga maupun sekolah iklim kehidupan dalam masyarakat yang kondusif juga sangat diharapkan kemunculan bagi perkembangan hubungan sosial remaja. Remaja tengah mengarungi masa perjalanan untuk mencari jati diri sehingga faktor keteladanan dan kekosistena sistem nilai dan norma dalam masyarakat juga menjadi sesuatu yang sangat penting. (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 74) menegaskan bahwa masa remaja adalah masa untuk menentukan identitas dan menentukan arah, tetapi  masa yang sulit ini akan menjadi tambah lebih sulit dengan adanya kontradiksi dalam masyarakat. Justru dalam priode remaja diperlukan norma, pegangan yang jelas, dan sederhana.
Lingkungan mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga dirumah atau dengan teman-teman disekolah tetapi juga mulai menjalin hubungan dengan orang-orang dewasa di luar lingkungan rumah dan sekolah, yaitu lingkungan masyarakat. Kondisi lingkungan selalu berubah setiap saat, oleh karenanya remaja dituntut untuk dapat membina dan menyesuaikan diri dengan bentuk-bentuk hubungan yang baru dalam berbagai situasi, sesuai dengan peran yang dibawanya pada saat itu dengan lebih matang. Mengingat besarnya arti dan manfaat penerimaan dari lingkungan, baik teman sebaya maupun masyarakat, remaja diharapkan mampu bertanggung jawab secara sosial, mengembangkan kemampuan intelektual dan konsep-konsep yang penting bagi kompetensinya sebagai warganegara dan berusaha mandiri secara emosional (Hurlock, dalam Setioningsih,Eko dkk, 2006: 30).
d.      Kematangan
Besosialisasi merupaka kematangan fisik dan psikis. Untuk mempertimbangkan dalam proses sosial, memberikan dan menerima pendapat dari orang lain, memerlukan kematangan intelektual dan emosional. Disamping itu kemampuan berbahasa juga sangat menentukan. Dengan demikian, untuk melakukan sosialisasi dengan baik diperlukan kematangan fisik sehingga setiap orang fisiknya telah mampu menjalankan fungsinya dengan baik. (H,Sunarto, dalam Angkotasan,N, 2014: 75).
e.       Status sosial ekonomi
Kehidupan banyak dipengaruhi oleh kondisi atau ststus sosial keluarga dalam masyarakat. Bukan sebagai anak yang independen, tetapi dipandang yang untuk konteksnya yang untuk dalam keluatga itu, ditanya bahwa “ini anak siapa”, secara tidak langsung cara pergaulan sosial anak, masyarakat dan kelompok akan memperhitungkan norma yang berlaku dalam keluarganya.
f.       Pendidikan
Pendidian merpakan proses sosialisasi anak yang terarah hakikat pendidikan sebagai proses pengorganisasian ilmu yang normative, akan memberiwarna kehidupan sosial anak di dalam masyarakat dan kehidupan mereka dimasa yang akan datang. Pendidikan dalam arti luas dapat diartikan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh kehidupa keluarga, masyarak, dan kelembagaan.
g.      Kapasitas moral emosi dan intelegensi
Kemampuan berpikir mempengaruhi banyak hal, seperti memecahkan masalah, kemampuan belajar dan berbhasa, perkembangan emosi seperti yang telah diuraikan. anak yang berkemampuan intelektual yang tingg mak ia akan berbahasa dengan baik.

I.       Perbedaan Individu Dalam Perrkembangan Sosial
Masa kanak-kanak merupakan masa mempelajari sikap dasar sosial, seperti sikap terhadap agama, kelompo sosial, politik, ekonomi, dan lain-lain. Sikap ini bisa berubah dikemudian hari karena faktor pengalaman. Pada masa kanak-kanak sikap sosial dasar belum banyak dimilii atau masih sedikit. Tetapi setelah anak mencapai umur 13 tahun dan banyak bersosialisasi dengan masyarakat, sikap dasar tadi menjadi semakin lengkap yang diperoleh dari lingkungan pergaulanya.
Perbedaan lingkungan dapat menumbulkan perbedaan sosial pada individu secara psikologi, sikap ini dapat dipelajari dengan tiga cara yaitu:
1.      Meniru orang yang berprestasi dalam bidang tertentu,
2.      Mengombinasi pengalaman, dan
3.      Pengalaman khusus dengan emosional yang mendalam.
Tuntutan situasi sosial tersebut akan dapat dipenuhi oleh remaja bila ia memiliki kemampuan untuk memahami berbagai situasi sosial dan kemudian menentukan perilaku yang sesuai dan tepat dalam situasi sosial tertentu, yang biasa disebut denga kemampuan penyesuaian sosial. Remaja yang dapat menyesuaikan diri dengan baik, tentu akan mampu melewati masa remajanya dengan lancar dan diharapkan ada perkembangan kearah kedewasaan yang optimal serta dapat diterima oleh lingkungannya. Sebaliknya, apabila remaja mengalami gangguan penyesuaian diri pada masa ini, maka kelak remaja akan mengalami hambatan dalam penyesuaian diri pada tahap perkembangan selanjutnya (Andayani, dalam Setioningsih,Eko dkk, 2006: 31).
Kemampuan remaja dalam melakukan penyesuaian dengan lingkungan sosialnya tidak timbul dengan sendirinya. Kemampuan ini diperoleh remaja dari bekal kemampuan yang telah dipelajari dari lingkungan keluarga, dan proses belajar dari pengalaman-pengalaman baru yang dialami dalam interaksinya dengan lingkungan sosialnya. Saat individu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, individu tersebut harus memperhatikan tuntutan dan harapan sosial yang ada terhadap perilakunya. Maksudnya bahwa individu tersebut harus membuat suatu kesepakatan antara kebutuhan atau keinginannya sendiri dengan tuntutan dan harapan sosial yang ada, sehingga pada akhirnya individu akan merasakan kepuasan pada hidupnya.
 Pada masa remaja mereka dituntut untuk dapat menentukan sikap pilihannya dan kemampuannya dalam menyesuaikan diri terhadap tuntutan lingkungannya agar partisipasinya selalu relevan dalam kegiatan masyarakat. Berdasarkan pengamatan dalam kehidupan sehari-hari, kenyataan memperlihatkan bahwa tidak semua remaja berhasil atau mampu melakukan penyesuaian sosial dalam lingkungannya. Hal ini tampak dari banyaknya keluhan remaja yang disampaikan dalam rubrik konsultasi psikologi (Andayani, dalam Setioningsih,Eko dkk, 2006: 31) atau dapat juga diketahui dari berbagai berita atau ulasan menganai masalah dan perilaku menyimpang remaja dalam berbagai media, baik media cetak maupun elektronik.

J.      Upaya Pengembangan Hubungan Sosial Remaja dan Implikasinya Bagi Pendidikan
Masa remaja merupakan fase yang sangat potensial bagi tubuh dan berkembanya aspek fisik maupun psikis, baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Mereka menganggap dirinya sudah bukan anak-anak lagi, tetapi orang-orang disekelilingnya masih menganggap mereka belum dewasa. Seringkali remaj ingin bertindak seperti orang dewasa. Akan tetapi, prilaku mereka seringkali masih bersifat imflusif dan masih belum menunjukan kedewasaan. Disebabkan dorongan yang kuat ingin menemukan dan menunjukan jati dirinya, remaja seringkali ingin melepaskan diri dari orang tuanya dan mengarahkan perhatian terhadap lingkuan diluar keluarganya dan cenderung lebih senang bergabung dengan teman sebayanya (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 76).
Melihat masa remaja sangat potensial dan dapat berkembang kearah positif maupun negatif maka intervensi eduktif dalam bentuk pendidikan, bimbingan, maupun pendamping sangat diperlukan untuk mengarahkan perkembangan potensi remaja tersebut agar berkembang kearah positif dan produktif. Intervensi eduktif harus sejalan dan seimbang, baik dalam pihak keluarga/orang tua, sekolah, maupun masyarakat (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 77).
Jika remaja tidak mampu melakukan penyesuaian sosial, maka akan menimbulkan permasalahan yang semakin kompleks. Permasalahan-permasalahan tersebut menuntut suatu penyelesaian agar tidak menjadi beban yang dapat mengganggu perkembangan selanjutnya. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa masa remaja dinilai lebih rawan daripada tahap-tahap perkembangan manusia yang lain (Hurlock, dalam Setionigsih,Eko dkk, 2006: 31). Dalam konteks profesi belajar, gejala negatif yang masih tampak adalah kurang mandiri dalam belajar yang berakibat pada gangguan mental setelah memasuki perguruan tinggi, kebiasaan belajar yang kurang baik dan tidak tahan lama dan baru belajar menjelang ujian, membolos, menyontek, dan mencari bocorang soal ujian (Ali dan Asrori, dalam Angkotasan,N, 2014: 77).
 Menghadapi masalah yang begitu kompleks, banyak remaja tidak dapat mengatasi masalahnya dengan baik, namun tidak jarang ada sebagian remaja yang kesulitan dalam melewati dan mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapinya. Remaja yang gagal mengatasi masalah seringkali menjadi tidak percaya diri, prestasi sekolah menurun, hubungan dengan teman menjadi kurang baik serta berbagai masalah dan konflik lainnya yang terjadi (Sari, dalam Setionigsih,Eko dkk, 2006: 31). Remaja-remaja bermasalah ini kemudian membentuk kelompok yang terdiri dari teman sealiran dan melakukan aktivitas yang negatif seperti perkelahian antar pelajar (tawuran), membolos, minum-minuman keras, mencuri, memalak, mengganggu keamanan masyarakat sekitar dan melakukan tindakan yang dapat membahayakan bagi dirinya sendiri.




BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
Melalui banyak penghayatan dan pengalaman kenyataan serta menghadapi pendapat orang lain, maka sifat ego semakin berkurang. Pada akhir masa remaja pengaruh egosentrisitas sudah sedemikian kecilnya, sehingga remaja sudah dapat berhubungan dengan orang lain tanpa meremehkan pendapat orang lain. Interaksi merupakan hubungan timbal balik antara dua orang atau lebih, dan masing-masing orang yang terlibat didalamnya memainkan peran secara aktif. Dalam interaksi juga lebih dari sekedar tejadi hubungan antara pihak-pihak yang terlibat melainkan terjadi saling mempengaruhi. Interaksi remaja dan orang tua merupakan hubungan timbale balik antara orang tua dengan remaja yang didalam hubungan tersebut memugkinkan remaja untuk mencapai kemandirian.
Karakteristik keluarga yaitu sebagai wadah  tiap individu berinteraksi dan berkomunikasi maka setiap peranan yag dilakukan setiap anggota peranan paling tidak akan memberikan pengaruh terhadap keluarga lain. oleh karena itu, kemampuan tinggi, kermampuan berbahasa baik, dan pengendalian emosional secara sembang sangat menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial anak. Didalam proses hubungan sosial yang melibatkan remaja, terjadi proses sosialisasi. Sosialisasi tersebut merupakan suatu kegiatan yang bertujuan agar pihak yang dididik atau diajak, kemudian memenuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku yang dianut oleh masyarakat.
usaha mengenai penyesuaian diri sebagai kemampuan mengatasi timbulnya perilaku dilekuen pada remaja. Berhasil tidaknya remaja dalam mengatasi tekanan dan mencari jalan keluar dari berbagai masalahnya tergantung bagaimana remaja mempergunakan pengalaman yang diperoleh dari lingkungannya dan kemampuan menyelesaikan masalah tersebut sehingga dapat membentuk sikap pribadi yang lebih mantap dan lebih dewasa.


Terima kasih sudah berkenan membaca artikel tersebut di atas tentang HUBUNGAN SOSIAL. Penulis mohon teman-teman kiranya berkenan memberikan kritik dan saran yang membangun karena penulis rasa artikel tersebut di atas jauh dari kata sempurna. Penulis juga mohon maaf jika terdapat kesalahan baik dari segi tulisan maupun bahasa. Thank you.

Previous
Next Post »