Banyak orang di zaman kita beranggapan bahwa
agama hanya merupakan program-program yang kosong dan nilai-nilai akhlak
semata. Ini adalah keyakinan klasik dan salah. Pada hakikatnya, agama adalah
sistem dalam kehidupan dan pergaulan. Intinya ialah hubungan dengan Allah SWT.
Oleh karena itu, usaha memisahkan antara problem-problem tauhid dan perilaku
manusia dalam kehidupan mereka sehari-hari berarti memisahkan agama dari kehidupan
dan mengubahnya menjadi adat-istiadat, tradis-tradisi, dan acara-acara ritual
yang hampa. Kisah Nabi Syu'aib menampakkan hal yang demikian secara jelas.
Allah SWT mengutus Syu'aib pada penduduk Madyan:
"Dan kepada (penduduk) Madyan (kami utus)
saudara mereka, Syu 'aib. Ia berkata: 'Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali
tiada Tuhan bagimu selain Dia.'" (QS. Hud: 84)
Ini adalah dakwah yang sama yang diserukan oleh
setiap nabi. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara satu nabi dan nabi yang
lain. Ia merupakan dasar akidah dan tanpa dasar ini mustahil suatu bangunan
akan berdiri. Setelah peletakan bangunan tersebut, Syu'aib mulai menyuarakan
dakwahnya:
"Dan janganlah kamu kurangi takaran dan
timbangan. Sesungguhnya aku melihat kamu dalam keadaan yang baik (mampu) dan
sesungguhnya aku khawatir terhadapmu akan azab hari yang membinasakan
(kiamat)." (QS. Hud: 84)
Setelah menjelaskan masalah tauhid secara
langsung, Nabi Syu'aib berpindah pada masalah muamalah sehari-hari yang
berkenaan dengan kejujuran dan keadilan. Adalah hal yang terkenal pada penduduk
Madyan bahwa mereka mengurangi timbangan dan mereka tidak memberikan hak-hak
manusia. Ini adalah suatu kehinaan yang menyentuh kesucian hati dan tangan
sebagaimana menyentuh kesempurnaan harga diri dan kemuliaan.
Para penduduk Madyan beranggapan bahwa
mengurangi timbangan adalah salah satu bentuk kelihaian dan kepandaian dalam
jual-beli serta bentuk kelicikan dalam mengambil dan membeli. Kemudian nabi
mereka datang dan mengingatkan bahwa hal tersebut merupakan hal yang hina dan
termasuk pencurian. Nabi Syu'aib memberitahukan kepada mereka bahwa beliau
khawatir jika mereka meneruskan perbuatan keji itu niscaya akan turun kepada
mereka azab di mana manusia tidak akan dapat menghindar dari siksaan itu.
Perhatikanlah bagaimana campur tangan Islam melalui Nabi Syu'aib yang diutus
kepada manusia di mana ia memperhatikan persoalan jual-beli dan mengawasinya:
"Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan
timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak
mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat
kerusakan." (QS. Hud: 85)
Nabi Syu'aib meneruskan misi dakwahnya. Beliau
mengulang-ulangi nasihatnya kepada mereka dengan cara yang baik dan mengajak ke
jalan yang baik, tidak ke jalan yang buruk; beliau menghimbau kepada mereka
untuk menegakkan timbangan dengan keadilan dan kebenaran dan mengingatkan
mereka agar jangan merampas hak-hak orang lain. Merampas hak-hak orang lain itu
tidak terbatas pada jual-beli saja, namun juga berhubungan dengan
perbuatan-perbuatan lainnya; beliau memerintahkan mereka untuk menegakkan
timbangan keadilan dan kejujuran. Demikianlah seruan dari agama tauhid dan
akidah tauhid di mana ia selalu menyuarakan kejujuran dan keadilan.
Agama selalu memerintahkan manusia untuk
menjalin kerjasama sesama mereka dalam kehidupan sehari-hari dengan cara-cara
yang bijaksana dan baik, baik menyangkut hubungan kerja, hubungan pribadi
maupun hubungan lainnya. Al-Qur'an al-Karim mengatakan: "Dan janganlah
kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka. "Dan kata as-Syai'
(sesuatu) dalam ayat tersebut diucapkan kepada hal-hal yang bersifat materi dan
yang bersifat non-materi (rohani) di mana masuk dalam katagori itu
perbuatan-perbuatan dan hubungan-hubungan yang menghasilkan. Al-Qur'an melarang
segala bentuk kelaliman, baik kelaliman berkenaan dengan menimbang buah-buahan
atau sayur-sayuran maupun kelaliman dalam bentuk tidak memberikan penghargaan
terhadap usaha manusia dan pekerjaan mereka. Sebab, kelaliman terhadap manusia
akan menciptakan suasana ketidakharmonisan yang berakibat pada timbulnya penderitaan,
sikap putus asa, dan sikap tidak peduli, sehingga pada akhirnya hubungan sesama
manusia berjalan tidak harmonis dan menimbulkan kegoncangan dalam kehidupan.
Oleh katrena itu, Al-Qur'an mengingatkan agar jangan sampai ada manusia yang
berbuat kerusakan di muka bumi:
"Dan janganlah kamu membuat kejahatan di
muka bumi dengan membuat kerusakan. Sisa (keuntungan) dart Allah adalah lebih
baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. Dan aku bukanlah seorangpenjaga
atas dirimu." (QS. Hud: 85-86)
Yang dimaksud al-'Atsu ialah sengaja membuat
kerusakan dan bertujuan untuk membuat kerusakan. Janganlah kalian membuat
kerusakan di muka bumi; janganlah kalian sengaja untuk menciptakan keonaran di
muka bumi. Apa yang ada di sisi Allah SWT adalah hal yang terbaik buat kalian
jika kalian benar-benar beriman. Kemudian Nabi Syu'aib memberitahu kepada
mereka bahwa ia tidak memiki sesuatu kepada mereka; ia tidak dapat menguasai
mereka tidak juga ia selalu mengawasi mereka. Beliau hanya sekadar seorang
rasul atau utusan untuk menyampaikan ajaran Tuhannya:
"Dan aku bukanlah seorang penjaga atas
dirimu. " (QS. Hud: 86)
Dengan cara yang demikian, Nabi Syu'aib
menjelaskan kaumnya bahwa masalah yang mereka hadapi saat ini sangat penting
dan sangat serius, bahkan sangat berat. Beliau memberitahu mereka akibat yang
bakal mereka terima jika mereka membuat kerusakan. Selesailah bagian pertama
dari dialog Nabi Syu'aib bersama kaumnya. Nabi Syu'aib telah mengawali
pembicaraan dan kaumnya mendengarkan. Kemudian beliau berhenti dari
pembicaraannya dan sekarang kaum membuka pembicaraan:
"Mereka berkata: 'Hai Syu'aib, apakah
agamamu yang menyuruh agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak
kami atau melarang hand berbuat apa yang kami kehendaki tentang harta kami.
Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal " (QS.
Hud: 87)
Para penduduk Madyan yang kafir mereka biasa
merampok dan menyembah al-Aikah, yaitu pohon dari al-Aik yang dikelilingi oleh
dahan-dahan yang berputar di sekelilingnya. Mereka termasuk orang-orang yang
menjalin hubungan sesama manusia dengan cara-cara yang sangat keji. Mereka suka
mengurangi timbangan; mereka mengambil yang lebih darinya dan tidak
menghiraukan kekurangannya. Perhatikanlah semua itu dalam dialog mereka bersama
Syu'aib. Mereka berkata, "wahai Syu'aib apakah agamamu yang
memerintahkanmu...?" Seakan-akan agama ini mendorong Syu'aib dan
membisikinya serta memerintahnya sehingga ia menaati tanpa pertimbangan dan
pemikiran. Sungguh Syu'aib telah berubah dengan agamanya itu menjadi alat yang
bergerak dan alat yang tidak sadar. Demikianlah celaaan dan tuduhan keji yang
dialamatkan oleh kaum Nabi Syu'aib kepadanya. Agama Syu'aib telah membuatnya
gila dan membuatnya nekat untuk memerintahkan mereka meninggalkan apa yang
selama ini mereka sembah dan disembah oleh kakek-kakek mereka. Kakek-kakek
mereka telah menyembah tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan sementara agama
Syu'aib memerintahkan mereka untuk hanya menyembah Allah SWT. Kenekatan model
apa dari Syu'aib ini?
Dengan ejekan dan penghinaan ini, Nabi Syu'aib
menghadapi dialog yang terjadi dengan mereka. Kemudian mereka kembali
bertanya-tanya dengan penuh keheranan dan dengan nada mengejek: "Apakah
agamamu yang menyuruh agar kami meninggalkan apa yang disembah oleh bapak-bapak
kami." Tidakkah engkau sadar wahai Syu'aib bahwa agamamu ingin mencampuri
keinginan kita dan cara kita menggunakan harta kita? Apakah hubungan keimanan
dan salat dengan muamalah materi?
Dengan pertanyaan ini, kaum Nabi Syu'aib mengira
bahwa mereka mencapai suatu tingkat kecerdasan. Mereka mengemukakan di
hadapannya problem keimanan, dan mereka mengingkari adanya keterkaitan antara
perilaku manusia dan muamalah mereka serta perekonomian mereka. Ini adalah
masalah yang klasik; ini adalah usaha untuk memisahkan antara ekonomi dan Islam
di mana setiap nabi justru di utus untuknya meskipun nama-nama mereka
berbeda-beda; ini adalah masalah kuno yang diungkap oleh kaum Nabi Syu'aib di
mana mereka mengingkari bahwa agama turut campur dalam kehidupan sehari-hari
mereka, perekonomian mereka dan cara mereka menggunakan harta mereka. Mereka
menganggap bahwa menginfakkan harta atau menggunakannya atau
menghambur-hamburkannya adalah suatu yang tidak berhubungan dengan agama. Hal
itu menyangkut kebebasan pribadi manusia. Bukankah itu hartanya yang khusus
lalu mengapa agama turut campur di dalamnya?
Demikianlah pemahaman kaum Nabi Syu'aib kepada
Islam yang dibawa oleh Nabi Syu'aib. Kami kira pemahaman demikian sedikit atau
banyak tidak berbeda dengan pemahaman banyak masyarakat di zaman kita sekarang
mereka menganggap bahwasannya Islam tidak memiliki kaitan dengan kehidupan
pribadi manusia dan kehidupan perekonomian mereka. Oleh karena itu, manusia
dapat menggunakan harta mereka sesuai dengan kemauan mereka:
"Sesungguhnya kamu adalah orang yang sangat penyantun lagi berakal."
Mereka ingin mengatakan kepada Nabi Syu'aib,
seandainya engkau seorang yang bijaksana dan memiliki pemikiran yang matang
niscaya engkau tidak akan mengatakan apa yang telah engkau katakan. Mereka
kembali mengejek Nabi Syu'aib dan merendahkan dakwahnya. Seandainya Anda
bertanya kepada kaum Nabi Syu'aib tentang pemahaman agama mereka maka mereka
pasti mengingkari bahwa agama adalah sebagai sistem dalam kehidupan yang
menjadikan hidup lebih mulia, lebih suci, lebih adil dan lebih pantas manusia
untuk menjabat sebagai khalifatullah di muka bumi; seandainya Anda bertanya
kepada mereka tentang agama niscaya mereka memberitahumu bahwa ia hanya berupa
kumpulan nilai-nilai rohani yang baik yang tidak mewarnai kehidupan
sehari-hari. Dengan pemahaman seperti ini, agama hanya sekadar hiasan. Ini
adalah pemahaman yang menggelikan karena Allah SWT mengutus para nabi dan
ajaran-ajaran yang mereka bawa bukan untuk perhiasan dan main-mainan. Maha Suci
Allah SWT dari semua itu. Allah SWT mengutus para nabi-Nya dengan membawa
sistem baru dalam kehidupan, yaitu sistem yang mencakup nilai-nilai dan
pemikiran-pemikiran yang itu semua tidak akan bermakna jika tidak berubah
menjadi suatu sistem dalam kehidupan secara umum dan mengatur kehidupan secara
khusus. Dengan pemahaman seperti inilah agama menjadi mulai dan agama menjadi
benar adanya. Dan dengan asumsi seperti ini, kita memahami seberapa jauh campur
tangan agama dalam persoalan-persoalan kehidupan sehari-hari: dimulai dari hubungan-hubungan
cinta sampai undang-undang perkawinan, bahkan cara mengambil keputusan hidup
sampai sistem dalam menginfakkan uang dan menggunakannya, juga sistem dalam
cara menggunakan dan mendistribusikan kekayaan dan sebagainya. Jika manusia
memahami agama seperti ini makajadilah agama sesuatu kebenaran. Dan kalau
tidak, agama laksana puing-puing saja.
Nabi Syu'aib mengetahui bahwa kaumnya
mengejeknya karena mereka menganggap agama tidak turut campur dalam kehidupan
sehari-hari. Namun, beliau menghadapi semua itu dengan penuh kelembutan dan
kasih sayang karena beliau yakin apa yang beliau bawa adalah kebenaran. Beliau
tidak peduli dengan ejekan mereka dan tidak tersinggung dengannya dan tidak
mempersoalkan hal itu; beliau memberi pengertian kepada mereka bahwa beliau
berada di atas kebenaran dari Tuhannya; beliau adalah seorang nabi yang
mengetahui kebenaran; beliau tidak melarang mereka untuk meninggalkan sesuatu
yang di balik larangan itu mendatangkan keuntungan pribadi buatnya; beliau
tidak ingin menasihati mereka dalam kejujuran agar pasar menjadi sepi dan
karenanya beliau mengambil manfaat; beliau hanya sekadar seorang nabi di mana
dakwah setiap nabi tergambar dalam ungkapan yang singkat:
"Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan)
perbaikan selama aku masih berkesanggupan. " (QS. Hud: 88)
Yang beliau inginkan hanya al-Islah (usaha
membuat perbaikan). Demikanlah kandungan dan inti dakwah para nabi yang
sebenarnya. Mereka adalah al-Muslihun, yaitu orang-orang yang membuat
perbaikan; mereka memperbaiki akal, memperbaiki hati dan memperbaiki kehidupan
yang umum dan kehidupan yang khusus:
"Syu'aib berkata: 'Hai kaumku, bagaimana
pikiranku jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya
aku dari-Nya rezeki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? Dan aku
tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku
tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih
berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan)
Allah. Hanya kepada Allah bertawakal dan hanya kepada-Nya-lah aku
kembali.'" (QS. Hud: 88)
Setelah Nabi Syu'aib menjelaskan
tujuan-tujuannya kepada mereka dan menyingkapkan kebenaran dakwahnya, beliau
mulai mengotak-atik akal-akal rnereka; beliau mengungkapkan kepada mereka
bagaimana pergulatan orang-orang sebelum mereka dengan para nabi sebelumnya,
yaitu kaum Nabi Nuh, kaum Nabi Hud, kaum Nabi Saleh, dan kaum Nabi Luth yang
masa mereka ddak jauh dengan masa Nabi Syu'aib. Beliau mulai berdialog dengan
mereka dan mengingatkan mereka bahwa sikap penentangan mereka justru akan
mendatangkan siksaan bagi mereka. Nabi Syu'aib mengingatkan mereka bagaimana
nasib orang-orang yang mendustakan kebenaran:
"Hai kaumku, janganlah hendaknya
pertentangan antara aku (dengan kamu) menyebabkan kamu menjadi jahat hingga
kamu ditimpa azab seperti yang menimpah kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Saleh,
sedang kaum Luth tidak (pula) jauh (tempatnya) dari kamu. Dan mohonlah ampun
dari Tuhanmu kemudian bertaubatlah kepada-Nya, sesungguhnya Tuhanku Maha
Penyayang lagi Maha Pengasih. " (QS. Hud: 89-90)
Usai Nabi Syu'aib berdakwah kepada Allah SWT dan
menjelaskan al-ishlah (usaha memperbaiki masyarakat) dan mengingatkan mereka
bahaya penentangan serta menakut-nakuti mereka dengan menceritakan kembali siksaan
yang diterima orang-orang yang berbohong sebelum mereka. Meskipun demikian,
Nabi Syu'aib tetap membukakan pintu pengampunan dan pintu taubat bagi mereka.
Beliau menunjukkan kepada mereka kasih sayang Tuhannya Yang Maha Pengasih dan
Maha Penyayang. Namun kaum Nabi Syu'aib memilih azab. Kekerasan hati mereka dan
keinginan mereka untuk mendapatkan harta yang haram serta rasa puas dengan
sistem yang mengatur mereka, semua itu menyebabkan mereka menolak kebenaran:
"Mereka berkata: 'Hai Syu'aib, kami tidak
banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu.'" (QS. Hud: 91)
Kami tidak memahamimu. Engkau adalah seorang
yang mengacau; engkau mengatakan sesuatu yang tidak dimengerti:
"Dan sesungguhnya kami benar-benar melihat
kamu seorang yang lemah di antara kami." (QS. Hud: 91)
Beliau dikatakan sebagai orang yang lemah karena
orang-orang fakir dan orang-orang yang rrienderita adalah orang-orang yang
beriman padanya, sedangkan orang-orang kaya dan para pembesar telah menentang
mereka. Demikianlah pertimbangan umumnya manusia yang tidak memiliki kekuatan
cukup untuk menghadapi kebenaran dakwah Nabi Syu'aib di mana beliau dianggap
sebagai orang yang lemah:
"Kalau tidaklah karena keluargamu tentulah
kami akan merajammu."(QS. Hud: 91)
Seandainya kalau bukan karena keluargamu dan
kaummu dan orang-orang yang mengikutimu niscaya kami akan menggali suatu lubang
dan kami akan bunuh kamu dilubang itu dengan cara melempari kamu dengan batu:
"Sedang kamu pun bukanlah seorangyang
berwibawa di sisi kami." (QS. Hud: 92)
Kaum Nabi Syu'aib berpindah dari cara mengejek
pada cara menyerang. Nabi Syu'aib telah menyampaikan bukti kepada mereka
setelah mereka mengejeknya, lalu mereka mengubah cara mereka berdialog. Mereka
memberitahunya bahwa mereka tidak memahami apa yang beliau katakan dan mereka
melihat bahwa Nabi Syu'aib sebagai orang yang lemah dan hina. Dan seandainya
kalau bukan karena mereka takut (kasihan) kepada keluarganya niscaya mereka
akan membunuhnya. Mereka menampakkan kebencian kepada Nabi Syu'aib dan ingin
sekali untuk membunuhnya kalau bukan karena alasan-alasan yang berhubungan
dengan keluarganya. Menghadapi ancaman itu, Nabi Syu'aib tetap menunjukkan
sikap lembutnya lalu beliau bertanya kepada mereka dengan maksud untuk menggugah
kesekian kalinya akal mereka:
"Syu 'aib menjawab: 'Hai kaumku, apakah
keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah. " (QS. Hud:
92)
Apakah cukup rasional jika mereka membayangkan
hal tersebut? Mereka melupakan hakikat kekuatan yang mengatur alam.
Sesungguhnya hanya Allah SWT Yang Maha Mulia dan Maha Kuat. Seharusnya mereka
mengingat hal itu; seharusnya seseorang tidak takut kepada apapun selain Allah
SWT dan tidak membandingkan kekuatan di alam wujud ini dengan kekuatan Allah
SWT. Hanya Allah SWT Yang Kuat dan hanya Dia yang mengatur hamba-hamba-Nya.
Tampak bahwa kaum Nabi Syu'aib mulai kesal dan
semakin kesal dengannya, lalu berkumpullah para pembesar kaumnya:
"Pemuka-pemuka dari kaum Syu 'aib yang
menyombongkan diri berkata: 'Sesungguhnya kami akan mengusir kamu hai Syu'aib
dan dengan orang-orang yang beriman bersamamu dari kota kami, kecuali kamu
kembali kepada agama kami.'" (QS. al-A'raf: 88)
Mereka menggunakan tahap baru dengan cara
mengancam Nabi Syu'aib; mereka mengancamnya untuk membunuh dan mengusir dari
desa mereka; mereka memberi pilihan kepada Nabi Syu'aib antara terusir dan
kembali kepada agama mereka yang menyembah pohon-pohon dan benda-benda mati.
Nabi Syu'aib memberitahu kepada mereka bahwa masalah kembalinya ia ke agama mereka
adalah masalah yang tidak berhubungan dengan masalah-masalah yang disebutkan
dalam perjanjian. Sungguh Allah SWT telah menyelamatkan beliau dari agama
mereka lalu bagaimana beliau kembali lagi padanya? Beliau yang mengajak mereka
pada agama tauhid lalu bagaimana beliau mengajak mereka untuk kembali pada
kesyirikan dan kekufuran? Beliau mengajak mereka dengan cara yang lembut dan
kasih sayang sementara mereka mengancamnya dengan kekuatan.
Demikianlah pertentangan antara Nabi Syu'aib dan
kaumnya semakin berlanjut. Nabi Syu'aib memegang amanat dakwah untuk menghadapi
para pembesar, para pendusta, dan para penguasa kaumnya. Akhirnya, Nabi Syu'aib
mulai mengetahui bahwa mereka tidak lagi memiliki harapan karena mereka telah
berpaling dari Allah SWT:
"Sedang Allah kamu jadikan sesuatu yang
terbuang di belakangmu? Sesungguhnya pengetahuan Tuhanku meliputi apa yang kamu
kerjakan. Dan (dia berkata): 'Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu,
sesungguhnya aku pun berbuat (pula). Kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan
ditimpa azab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. Dan tunggulah azab
(Tuhan). Sesungguhnya aku pun menunggu bersama kamu." (QS. Hud: 92-93)
Nabi Syu'aib berlepas diri dari mereka. Mereka
telah berpaling dari agama Allah SWT bahkan telah mendustakan nabi-Nya dan
menuduhnya bahwa ia tersihir dan seorang pembohong. Maka, setiap orang
hendaklah melakukan apa saja yang diinginkannya dan hendaklah mereka menunggu
azab Allah SWT. Kemudian pergulatan antara Nabi Syu'aib dan kaumnya berakhir
adanya fase baru. Mereka meminta kepada Nabi Syu'aib untuk mendatangkan azab
dari langit jika beliau termasuk orang-orang yang benar. Dengan nada mencibir
dan menantang, mereka berkata: "di mana azab itu, di mana siksaan yang
dijanjikan itu? Mengapa terlambat datang?"
Mereka mengejek Nabi Syu'aib dan beliau dengan
tenang menunggu datangnya azab Allah SWT. Allah SWT mewahyukan kepada beliau
agar keluar bersama orang-orang mukmin dari desa tersebut. Akhirnya, Nabi
Syu'aib keluar bersama para pengikutnya dan datanglah azab Allah SWT:
"Dan takkala datang azab Kami. Kami
selamatkan Syu'aib dan orang-orang yang beriman bersama-sama dengan dia dengan
rahmat dari kami, dan orang-orang lalim dibinasakan oleh satu suara yang
mengguntur, lalu jadilah mereka mati bergelimpangan di rumahnya. Seolah-olah
mereka belum pernah berdiam di tempat itu. Ingatlah, kebinasaan bagi penduduk
Madyan sebagaimana kaum Tsamud telah binasa." (QS. Hud: 94-95)
Ia adalah teriakan sekali saja satu suara yang
datang kepada mereka dari celah-celah awan yang menyelimuti. Mula-mula mereka
barangkali bergembira karena membayangkan itu akan membawa hujan tetapi mereka
dikagetkan ketika datang kepada mereka siksaan yang besar pada hari yang besar.
Selesailah masalah ini. Mereka menyadari bahwa
teriakan itu membawa bencana buat mereka; teriakan itu menghanguskan setiap
makhluk yang ada di dalam negeri itu. Mereka tidak mampu bergerak dan tidak
mampu menyembunyikan diri dan tidak pula mereka dapat menyelamatkan diri
mereka.
ConversionConversion EmoticonEmoticon